Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Kamis, 23 Juli 2009

Koalisi dalam Islam (studi kasus koalisi PKS dalam pilpres 2004)


Pendahuluan

Dua bulan terakhir ini isu koalisi antar partai politik cukup ramai diperbincangkan apalagi menjelang pemilihan Presiden Republik Indonesia belakangan ini. Kecenderungan koalisi antar politik dalam perjalanan bangsa ini sering terjadi baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Koalisi menjadi keniscayaan dalam rangka memenangkan para kandidat yang diusungnya. Selain itu, untuk memperkuat pemerintahan baik dari dalam pemerintahan maupun di parlemen. Berbicara tentang koalisi maka yang pertama muncul dalam benak seseorang adalah masalah yang berkaitan dengan politik yakni power sharing (bagi-bagi kekuasaan). Tetapi kata koalisi digunakan juga untuk bidang-bidang lain di luar politik. Misalnya koalisi antara perusahaan. Kata koalisi digunakan ketika bergabungnya beberapa orang atau kelompok dengan tujuan yang sama. Dalam bisang politik, koalisi sering kali dihubungkan dengan partai-partai. Koalisi adalah persekutuan antara partai atau kekuatan politik lain demi memperjuangkan suatu aspirasi atau cita-cita tertentu. Ini biasanya ditunjukkan bagi partai yang akan membentuk pemerintahan.


Koalisi partai politik merupakan fenomena yang sering berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan kabinet dari partai-partai yang memiliki suara di parlemen. Partai pemenang Pemilu memiliki kesempatan untuk membentuk kabinet dengan memperhatikan dukungan mayoritas di parlemen. Kenyataannya, gejala koalisi partai tidak hanya terjadi dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensiil pun dikenal koalisi partai politik, misalnya dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, partai-partai di parlemen melakukan koalisi demi meloloskan kebijakan tertentu. Pembentukan kabinet selama ini merupakan versi tertentu dalam koalisi. Presiden mempertimbangkan koalisi partai pendukungnya untuk mengisi posisi dalam kabinet.

Dalam sistem Presidensiil sejatinya Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen melainkan bertanggungjwab kepada rakyat yang memilihnya, Presiden tidak berwenang membubarkan parlemen dan kabinet sepenuhnya bertanggungjawab kepada presiden. Namun demi pertimbangan kepentingan tertentu, maka koalisi partai dalam kabinet dapat dilakukan.

Selanjutnya tulisan berikut ini tidak menyoroti koalisi partai politik yang terjadi akhir-akhir ini. Namun sejauhmana koalisi politik ini sebenarnya dilakukan dalam pandangan Islam dengan mengambil studi kasus koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu.

Definisi Koalisi Politik

Koalisi Politik sepadan dengan istilah dalam Islam dengan al-tahâluf al-Siyâsiy, al-tahâluf berasal dari kata al-hilfu yang berarti al-‘ahdu yaitu perjanjian, kesepakatan dan sumpah. Kata jamaknya adalah ahlâf.

Sementara Munir Muhammad Ghadban menyebutkan, al-Hilfu adalah bersumpah atau berjanji untuk saling membantu, tolong menolong dan dalam mengambil kesepakatan.
Adapun al-Siyâsiy berasal dari kata sâsa yasûsu siyâsah. Siyâsah yang berarti politik. Politik dalam Islam sudah lama dikenal dalam kepustakaan Islam dengan istilah al-Fiqhu al-Siyâsiy atau fiqh al-Siyâsah al-Syar’iyyah. Jadi, fiqh siyâsah adalah ilmu yang mempelajari ihwal-ihwal atau seluk beluk pengaturan urusan umat dan negara dalam bentuk hukum, peraturan, kebijakan yang dibuat oleh penguasa dengan dasar-dasar syariat demi mewujudkan kemaslahatan umat.

Koalisi Politik dalam Sirah Nabawiyah

Koalisi bukanlah sesuatu yang baru baik dalam bidang politik maupun bidang lainnya, koalisi pernah terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Nabi. Dalam masa hidupnya Rasulullah Saw telah melakukan beberapa kali melakukan koalisi dan perjanjian bahkan menyaksikannya baik sebelum diangkat menjadi Nabi, ketika pembentukan negara Islam di Madinah maupun pasca pendirian negara di Madinah.

Dalam sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa adanya perjanjian-perjanjian yang terjadi pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw. Perjanjian tersebut adalah perjanjian al-Muthayyibîn dan perjanjian al-fudhûl.

Diceritakan bahwa bangsa quraisy memiliki enam kabilah, yaitu Abdul Dar, Ka’ab, Jamha, Sahna, Mahzum dan Adiy (kabilah Ahlâf). Suatu kali keturunan Abdul Manaf ingin mengambil kekuasaan dalam penjagaan ka’bah dan air zam-zam dari Abdul Dar serta ingin menyingkirkannya.

Maka terjadi suatu perjanjian diantara mereka untuk saling menjaga kekuasaan yang telah diberikan dan untuk tidak saling memperebutkan. Kemudian Abdul Manaf membawa mangkok yang cukup besar diisi dengan minyak wangi untuk melakukan suatu perjanjian di depan ka’bah ditambah lagi dengan Kabilah Asad, Zahrah dan Tamim. Lalu mereka memasukkan tangannya ke dalam mangkok untuk melakukan perjanjian. Mereka menamakannya dengan ahlâf. Perjanjian ini selanjutnya dikenal dengan perjanjian al-Muthayyibîn.

Koalisi al-Muthayyibîn sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Rasulullah Saw pernah memberikan komentarnya terhadap perjanjian ini: “Aku pernah menyaksikan ketika berlangsungnya perjanjian al-Muthayyibin, aku tidak mengingkarinya dan walaupun aku diberikan kekuasaan atas binatang ternak”.

Selain itu, Nabi Saw pernah menyaksikan koalisi untuk membela orang-orang yang teraniaya. Koalisi itu dikenal dengan hilfu al-fudhûl. Kisahnya adalah orang-orang quraisy terpanggil untuk melakukan perjanjian (baca:koalisi) maka mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Jad’an, karena ia orang yang paling dihormati dan paling tua usianya. Adapun mereka yang melakukan perjanjian adalah Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Tamim bin Murrah. Mereka melakukan perjanjian untuk tidak memberikan kezaliman di kota Mekkah baik terhadap penduduk pribumi maupun para pendatang serta yang bermukim di sana. Mereka akan menghadapi orang-orang yang akan melakukan kezaliman sampai ia meninggalkan kezaliman itu. Orang-orang quraisy menamakan koalisi ini dengan hilfu al-fudhûl.

Adapun sebab terjadinya adalah seorang badui dari desa Zubaid datang ke kota Mekkah dengan membawa beberapa barang dagangan kemudian barang itu dibeli oleh al-Ash bin Wail, seorang yang kaya raya dan terpandang di kota Mekkah, tetapi ketika barang itu telah diserahkan kepada al-Ash bin Wail, dia tidak mau membayarnya. Maka seorang badui tadi meminta pertolongan kepada kelompok ahlâf (Abdul Bar, Makhzum, Jamh, Sahm dan Adi bin Ka’ab). Akan tetapi mereka menolak untuk memberi pertolongan dari kezaliman al-Ash bin Wail. Bahkan mereka menghardik laki-laki badui tersebut. Ketika badui dari desa Zubaid tidak ada tanggapan, ia naik ke bukit Abu Qubais (gunung di sekitar Masjid al-Haram) bersuara lantang membaca syair, inti syair itu menyebutkan bahwa tidaklah pantas tanah haram ditempati oleh orang yang berbuat dosa. Setelah mendengar seorang badui tadi maka berkumpullah Hasyim, Zuhra, dan Taimiy bin Murrah di kediaman Abdullah bin Jad’an. Mereka sepakat berjanji dengan sungguh-sungguh untuk membela orang yang teraniaya dan akhirnya hak orang badui dikembalikan.

Nabi Saw ini sangat mendukung koalisi dalam bentuk seperti ini. Dalam dukungannya beliau menyatakan: “Kalau aku diundang (dalam hilfu al-Fudhûl) di masa Islam maka aku akan melayaninya”. Karena Nabi mengetahui persis bahwa Hilfu al-Fudhûl ditegakkan hanya untuk membela orang-orang yang teraniaya dan untuk mengembalikan hak-haknya. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada perjanjian dalam Islam dan setiap perjanjian yang dilakukan dalam masa Jahiliyyah sangat didukung oleh Islam”.

Koalisi dalam masa pembentukan negara dimana banyak peristiwa yang penting yang terjadi pada masa itu. Peristiwa itu adalah bai’at aqabah pertama dan ba’iat aqabah kedua. Bai’at aqabah pertama didahului dengan masuk Islamnya enam orang pemuda dari Yatsrib yang berasal dari suku khazraj pada musim haji tahun 11 kenabian. Untuk selanjutnya mereka berjanji untuk datang pada musim haji yang akan datang. Pada musim haji berikutnya tahun 12 kenabian bertepatan pada bulan Juli 621 M, dua belas orang anshar datang menemui dan membaiat Rasulullah Saw di Aqabah sehingga baiat itu dikenal dengan baiat aqabah pertama. Selanjutnya Rasulullah Saw mengutus Mushab bin Umair berangkat bersama mereka sebagai duta Islam pertama di Madinah. Adapun peristiwa baiat aqabah kedua terjadi pada tahun 13 kenabian bertepatan pada bulan Juni 622 M, mereka datang untuk melaksanakan ibadah haji berjumlah tujuh puluh lima orang, dua orang diantaranya wanita. Setelah melaksanakan haji, mereka menemui Rasulullah Saw pada suatu malam sementara Rasul Saw ditemani oleh pamannya Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Pada malam itu Rasulullah Saw membaiat mereka.

Tahâluf yang monumental dicatat dalam sejarah adalah perjanjian damai dengan Yahudi di wilayah Madinah -ketika Rasul Saw hijrah ke Madinah- demi menciptakan keamanan dan penegakkan keadilan secara bersama. Perjanjian ini dikenal dengan piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia yang tertulis dalam sejarah Islam.

Selanjutnya, Rasulullah Saw dalam melakukan koalisi ini dalam pembentukan negara baru di Madinah. Ia membuat perjanjian antara muhajirin dan anshar yang berisikan suatu seruan kepada orang-orang Yahudi untuk membuat suatu perjanjian agar memberikan kebebasan kepada mereka untuk memeluk agama Islam dan menjaga keselamatan harta benda mereka kemudian mereka saling memberikan persyaratan. Bahkan Rasulullah Saw membuat perjanjian dalam empat bagian. Pertama, Perjanjian persaudaraan sesama kaum muslim. Kedua, Perjanjian saling menolong antara kaum muslim dan kaum musyrik, Ketiga, Perjanjian untuk melakukan kerja sama antara kaum muslim dengan kelompok besar lainnya (non muslim), Keempat, Peraturan-peraturan umum.

Terakhir, Rasulullah Saw melakukan koalsi pasca pembentukan negara di Madinah yang dilalui dengan empat fase. Pertama, meskipun sudah ada perjanjian terdahulu dengan Rasulullah Saw, orang Yahudi dan orang Musyrik, namun quraisy tetap berupaya menimbulkan ancaman dan peringatan kepada suku Aus dan Khadraj. Kedua, Fase ini diperkirakan berlangsung selama empat tahun yaitu sejak selesainya perang Badar sampai diadakannya perjanjian Hudaibiyah. Ketiga, Masa proklamasi resmi dari negara Islam terhadap musuh besarnya, kaum Quraisy. Proklamasi ini diiringi dengan perjanjian damai Hudaibiyah dan perubahan peta perjanjian bagi Negara-negara arab. Keempat, Turunnya surat bara’ah, yaitu setahun setelah fathu Mekkah dimana semua kekuatan yang menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin. Fenomena tersebut merupakan akhir dari semua perjanjian dan koalisi yang ada dalam Islam.

Dari paparan di atas sangat jelas bahwa koalisi pernah dilakukan dalam sejarah Islam baik Nabi Muhammad Saw sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi. Koalisi yang dilakukan Nabi Saw pada masanya bermuara untuk kemaslahatan umat baik sesama muslim maupun non muslim. Selanjutnya, sejauhmana kemaslahatan itu dapat diraih, sejauhmana maslahah dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam yang memang ketentuannya tidak secara terang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits.

Teori Maslahah

Tujuan Allah Swt mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat (kerusakan) baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, Allah Swt dalam menetapkan dan menciptakan hukum memiliki tujuan (maqâshid al-syariah) untuk memperoleh kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi tegasnya, bahwa maqâshid al-Syariah merupakan tujuan utama Allah Swt dalam menetapkan hukum demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Untuk itu, maslahat yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam ditetapkan melalui nash-nash adalah maslahah hakiki.

Maslahah adalah menetapkan hukum terhadap suatu persoalan yang tidak dikemukakan dalam nash maupun ijma’, karena pertimbangan maslahah dengan bersendikan menarik manfaat dan menghindari mudharat. Yakni maslahat yang selaras dengan tujuan-tujuan syariat yang tidak didapati secara khusus baik bersifat melegitimasi maupun yang menolaknya. Maslahah ini merupakan metode penetapan hukum yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja metode ini menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Umpamanya, inisiatif khalifah Abu Bakar dalam kodifikasi Al-Qur’an yang sebenarnya tidak diperintahkan oleh nash. Namun penulisan yang diprakarsai oleh Abu Bakar saat itu mengandung maslahah, karena shahabat yang hafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam perang Yamamah sehingga dikhawatirkan Al-Qur’an akan terlupakan kemudian.

Pada prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Al-Ghazali menegaskan bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, dan ada lima hal yang harus dijaga dalam kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Artinya, Maslahah mu’tabarah (dapat diterima) adalah maslahat yang bersifat hakiki yang meliputi lima jaminan dasar yang disebutkan tadi. Kelima jaminan tersebut merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar manusia hidup aman dan sejahtera.

Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat; dharûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat satu sama lain. Dalam hal ini peringkat dharûriyyât menempati urutan pertama, disusul oleh hâjiyyât, kemudian disusul oleh tahsîniyyât. Namun disisi lain peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.

Untuk itu yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia. Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharûriyyât (primer), hajiyyât (sekumder) dan tahsîniyyât (tersier).

Yang dimaksud dengan dharûriyyât adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang esensial dalam menjaga kemaslahatan agama dan dunia. Namun jika ketentuan ini hilang maka akan terancam eksistensi lima pokok dasar. Kelima eksistensi itu adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima eksistensi ini disebut pula dengan al-dharuriyyât al-khams. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyât tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan kebutuhan yang menghindarkan manusia dalam hidupnya. Tidak terpelihara kelompok ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukshah dalam ibadah dalam ilmu fikih. Sedangkan dalam kelompok tahsîniyyât adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan-kebiasaan baik dan masuk di dalamnya akhlak mulia.

Jika maslahat menjadi tujuan hukum taklifiy dan hukum wadh’iy maka dengan demikian hukum syar’i semuanya amat memperhatikan kemaslahatan pribadi seseorang. Kemaslahatan pribadi ini tidak bisa ditinggalkan kecuali apabila berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar atau apabila kemaslahatan pribadi merugikan orang lain. Misalnya, seseorang memakan harta orang lain demi menutupi kebutuhan pribadinya. Hal demikian merupakan kemaslahatan yang tidak dapat diterima karena kemudharatan yang menimpa orang lain lebih berat dibanding kemanfaatan yang diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu, Islam sangat memperhatikan kemaslahatan. Islam tidak menetapkan beban atas manusia kecuali beban tersebut mampu dikerjakan dan bisa dijalani secara kontinyu.

Dengan demikian, Islam dengan hukum-hukum syariahnya mengacu kepada usaha untuk mewujudkan kemaslahatan dan memberi kemudahan yang tidak mengacu kepada yang lainnya. Bagitulah para ulama mengambil ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang bertujuan mengambil maslahat dan menolak bahaya. Hal itu bukan berarti meniadakan nash karena ia tidak mampu mewujudkan kemaslahatan. Bagaimanapun kemaslahatan harus sesuai dengan nash karena kemaslahatan yang bertentangan adalah rekayasa nafsu dan pikiran manusia yang berarti menetapkan keinginan nafsu terhadap ketetapan nash.

Dhawâbith al-Maslahah (Rambu-rambu Maslahah)

Pada dasarnya, maslahah tidak dapat menjadi dalil hukum yang berdiri sendiri sebagaimana Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sehingga dapat membentuk hukum-hukum bagian daripadanya sebagaimana yang dilakukan nantinya oleh peneliti. Namun, maslahah bersifat kulliy dengan tetap mengambil sumber hukum Islam yang ada baik dari dalilnya maupun sumbernya dan berorientasi untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, diperlukan rambu-rambu (dhawâbith) dalam penetapan hukum maslahah ini dengan menggali dalil-dalil yang ada baik dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyâs. Menurut Ramadhan al-Buthiy, dalam penetapan hukum Islam melalui maslahah ini setidaknya terdapat lima dhawâbith berikut ini:.

Pertama, mengetahui tujuan maqâshid al-Syarî’ah berikut dengan peringkatnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tujuan hukum Islam adalah memelihara kemaslahatan dan menghindari kerusakan dengan memelihara lima unsur pokok, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Selanjutnya dalam memelihara kelima unsur pokok ini sesuai dengan masing-masing peringkatnya; dhâruriyyât, hajiyyât dan tahsîniyyât.

Kedua, Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, artinya menetapkan suatu hukum yang bermuara pada maqâshid al-Syarî’ah harus bersandar dengan dalil Al-Qur’an. Jika maslahah bertentangan secara syara’ dengan Al-Qur’an maka maslahah ini dengan sendirinya batal.

Ketiga, tidak bertentangan dengan Sunnah. Sunnah di sini adalah apa-apa yang ditetapkan sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan baik secara mutawâtir maupun âhâd.

Keempat, Tidak bertentangan dengan qiyâs. Qiyâs (analogi) merupakan menjaga kemaslahatan dari sisi cabang (fara’) dimana menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. Setiap qiyâs dapat digunakan demi maslahah. Tetapi, tidak selalu maslahah bisa dilakukan dengan qiyâs.

Kelima, tidak boleh bertentangan dengan maslahah yang lebih penting. Karena itu, tingkatan lima unsur pokok tadi al-dharûriyyât al-khams adalah suatu keharusan dimana tidak boleh bertentangan secara urutannya. Dengan peringkat urutan berikut; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk itu, menjaga agama merupakan peringkat yang pertama dan didahulukan daripada menjaga jiwa jika terjadi pertentangan dan menjaga jiwa lebih didahulukan daripada menjaga akal dan menjaga akal lebih didahulukan daripada menjaga keturunan dan menjaga keturunan lebih didahulukan daripada menjaga harta ketika terjadi pertentangan dan demikian.

Namun jika terjadi benturan maslahah dengan nash sebagaimana pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa Najmuddin al-Thufi (w.716 H) menyebutkan bahwa jika terjadi demikian maka maslahah didahulukan daripada nash. Pendapat al-Thufi ini tidaklah mencakup keseluruhan nash melainkan hanya pada bidang muâmalah dan ‘urf (kebiasaan) saja bukan kepada hal Ibadah dan persoalan yang sudah ditentukan oleh nash. Menurut al-Qaradhawi, nash yang dimaksud oleh al-Thufi adalah nash yang sifatnya zhanni baik dalam sanad, matan, penetapan maupun dalil hukumnya yang memang bukan nash qath’iy. Bahkan, Abu Zahrah menambahkan bahwa suatu kemustahilan apabila terjadi benturan antara maslahah dengan nash yang qath’iy. Untuk itu tetap didahulukan nash daripada maslahah kecuali yang disebutkan tadi.

Dapat dikatakan demikian karena nash memiliki ketinggian dan kemuliaan sekalisgus penjagaannya dari Allah Swt. Pasalnya, nash memuat di dalamnya keadilan, rahmat dan maslahat seluruhnya. Karea itu, nash menjadi alat ukur untuk menentukan maslahat baik dalam membedakan antara maslahat dan mafsadat maupun maslahat yang lebih yang tinggi daripada kemaslahatan dunia.

Efektifitas (Taf’îl) al-Maslahah

Dalam konteks dewasa kontemporer ini, karena perubahan situasi dan kondisi, adanya perkembangan sains dan teknologi, tentu saja kebutuhan mendasar dalam teori hukum Islam klasik dapat dikembangkang lebih lanjut berdasarkan prinsip ijtihad. Pasalnya, fatwa dalam arti sebagai jawaban dari persoalan kontemporer dapat mengalami perubahan sesuai tempat, zaman, kondisi, adat dan tradisi. Berdasarkan dari pemikiran di atas maka kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) yang dirumuskan oleh ulama klasik tetap masih aktual namun dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan manusia dewasa ini. Karena itu pengertian maqâshid al-syariah yang oleh ulama klasik dibatasi pada al-kulliyât al-khams tersebut dapat ditambah, diperluas dan dapat pula dikembangkan. Jadi, dapat dikatakan mengefektifkan pengertian al-Maslahah secara lebih luas.

Pengembangan pengertian maslahah atau maqâshid al-Syariah itu dikembangkan misalnya oleh Jamal Athiyyah dengan menambah dan memperinci kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) menjadi dua puluh empat maqâshid syariah yang dibagi menjadi empat segmentasi. Yakni segmen individu, segmen keluarga, segmen umat dan segmen manusia. Pertama, Segmen individu, yakni memelihara jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta. Kedua, Segmen keluarga, yakni Menata hubungan antara dua jenis manusia, menjaga keturunan, mewujudkan ketenangan, ketentraman dan rahmat, menjaga nasab (garis keturunan), memelihara agama dalam keluarga, pengelolaan fundamental keluarga, mengelola harta keluarga. Ketiga, Segmen umat, yakni menata landasan dasar umat, menjaga keamanan, menegakkan keadilan, menjaga agama dan akhlak, saling membantu dan tanggungjawab, menyebarkan ilmu dan menjaga kecerdasan umat, memakmurkan bumi dan menjaga kekayaan umat. Keempat, Segmen manusia, yaitu saling kenal dan bantu, mewujudkan kepemimpinan umum manusia, mewujudkan perdamaian dunia yang dibangun atas keadilan, menjaga negara dari hak asasi manusia, menyebarkan dakwah Islam.

Bahkan lebih jauh dari itu, pengembangan maslahah dewasa ini dilakukan oleh ulama kontemporer tetapi dengan tetap melandasi lima pokok dasar yang dirumuskan ulama. Misalnya, Yusuf al-Qaradhawi, Ahmad al-Raisuni dan Ismail al-Husni. Mereka menambahkan unsur lain selain lima pokok dasar di atas, yakni keadilan (al-‘adl), persamaan (al-Musâwâh), kebebasan (al-Hurriyah), hak-hak Sosial (al-Huqûq al-Ijtimâ’iyyah), hak-hak ekonomi (al-Huqûq al-Iqtishâdiyyah) dan hak-hak politik (al-Huqûq al-Siyâsiyah).

Jadi, maslahah atau maqâshid al-syariah dewasa ini dapat formulasikan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia. pengembangan teori maslahah ini sebagaimana dijelaskan di atas tetap mengacu kepada lima pokok dasar demi mewujudkan kemaslahatan, keadilan, kasih sayang sesama manusia dan lain sebagainya serta untuk menyingkap rahasia yang terdapat dalam suatu aturan tertentu dalam hukum Islam (asrâr al-tasyrî).

Koalisi PKS untuk Pemilihan Presiden tahun 2004

Dalam kasus pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2004 yang lalu, PKS dalam pemilu 2004 tidak menyodorkan kadernya menjadi Capres dan Cawapres. Namun muncul dua nama menjadi pembahasan utama anggota Majlis Syura Partai, mereka adalah Amien Rais (Capres dari PAN) dan Wiranto (Capres dari Golkar). Menjadi tantangan tersendiri bagi PKS apalagi sebagai Partai Dakwah, sebab partai bukanlah kelanjutan logis dari kehendak untuk mengejar kekuasaan politik, melainkan kelanjutan dari Dakwah Islamiyah itu sendiri. Dengan demikian, bagi kalangan Partai, mendirikan partai politik sama dan sebangun maknanya dengan upaya memasuki dimensi politik sebagai bagian dari dakwah.

Sementara itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS mempunyai tiga kriteria untuk menentukan siapa calon presiden yang akan didukung nantinya. Kriteria itu, Islamis, reformis dan demokratis.

Karena itu, kita melihat pertimbangan maslahat berikut ini: Pertama, Islamis. Ini adalah kriteria yang paling fundamental. Seseorang itu tidak hanya beragama Islam dalam artian formal beragama, namun secara fikrah orang tersebut harus yang alim. Kriteria Islami juga mempunyai pengertian, orang tersebut mempunyai track record yang jelas dalam kancah dakwah di Indonesia. Dengan kata lain, orang tersebut merasakan betul pahit dan manisnya dakwah di Indonesia. Kedua, reformis. Artinya, orang tersebut mendukung agenda reformasi yang selama ini diperjuangkan. Jika dilihat dari kriteria ini, maka Amien Rais dan Wiranto memenuhi kriteria. Namun, kalau dilihat dari mana yang lebih besar posisi reformisnya antara Wiranto dan Amien, jelas Amien Rais. Karena bukan saja mendukung reformasi, tapi Amien adalah sebagai lokomotif reformasi. Ketiga, demokratis. kriteria pemimpin demokratis adalah sebuah keharusan, sebab dengan adanya pemimpin yang mempunyai jiwa demokratis, berarti menjamin keberlangsungan dakwah itu sendiri. Dalam konteks ini, Amien Rais dengan pengalaman politiknya selama ini, adalah sosok yang sudah teruji jiwa kedemokratisannya. Sedangkan Wiranto selama karirnya adalah tentara yang selalu berada di lapangan yang terbiasa memberikan instruksi.

Selain tiga kriteria yang disebutkan di atas. Amien juga dinilai berani menandatangani kontrak politik dengan mahasiswa. Sebagaimana yang dituturkan Hidayat Nur Hawid selaku Presiden PKS saat itu bahwa Amien juga satu-satunya capres yang dinilai PKS dapat menindak korupsi dengan tegas. Hal ini mengacu pada eksekusi Amien pada anggota DPRD Sumatra Barat.
Dengan tiga kriteria yang dirumuskan PKS di atas paling mendekati tiga kriteria tersebut adalah Amien-Siswono yang mendapat dukungan karena dinilai berlatar belakang reformis, demokratis, dan islamis.

Alhasil, PKS akhirnya memutuskan untuk mendukung pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo ketimbang Wiranto dan Shalahuddin Wahid. Keputusannya ini dilakukan melalui rapat Majelis Syura yang terdiri dari DPP, MPP dan Dewan Syariah Pusat. Dengan demikian PKS memandang bahwa Amin-Siswono memiliki maslahat lebih besar daripada Wiranto. Kelihatannya, PKS dalam memutuskan dua kandidat pasangan ini dengan menggunakan teori maslahah. Kemaslahatan yang didasarkan pada tingkat kebutuhan dan prioritasnya.

Karena pasangan Amien-Siswono gagal dalam pilpres putaran pertama. Untuk Putaran kedua ini diikuti oleh dua kontestan antara Mega-Hasyim dan SBY-JK. Dalam putaran kedua ini, PKS mendukung SBY-JK (Soesilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla). Sekali lagi, koalisi dapat diwujudkan sejauhmana kemaslahatan dapat diraih. Apalagi koalisi yang dilakukan PKS tidak murni berdasarkan politik pragmatis semata melainkan berbasis nilai-nilai dan moral. Kemaslahatan yang akan diraih dalam koalisi ini dilakukan dengan melakukan kontrak politik antara PKS dan capres SBY dengan lima point kontrak politik.

Lima kontrak politik atau nota kesepahaman dengan SBY-JK yang dikemas secara tertulis dan dijanjikan Susilo selama pemerintahannya. Berikut disarikan nota kesepahaman itu: Pertama, Konsisten dalam melakukan perubahan untuk membangun pemerintahan yang bersih, peduli dan profesional. Kedua, Mempertahankan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Ketiga, Melanjutkan proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia. Keempat, meningkatkan moralitas bangsa dan kesejahteraan rakyat serta penegakan hukum. Kelima, Mendukung upaya perjuangan palestina dengan tidak menjalin hubungan diplomatik kepada Israel.

Kemaslahatan ini masuk dalam pengembangan pengertian maslahah atau yang dikembangkan oleh Jamal Athiyyah dengan memperinci kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) menjadi dua puluh empat maqâshid syariah yang dibagi menjadi empat segmentasi. Yakni segmen individu, segmen keluarga, segmen umat dan segmen manusia.

Dalam hal ini masuk segmen kemaslahatan umat dan manusia. untuk kemaslahatan umat adalah menata landasan dasar umat, menjaga keamanan, menegakkan keadilan, menjaga agama dan akhlak, saling membantu dan tanggungjawab, menyebarkan ilmu dan menjaga kecerdasan umat, memakmurkan bumi dan menjaga kekayaan umat. Sementara untuk kemaslahatan manusia, yaitu saling kenal dan bantu, mewujudkan kepemimpinan umum manusia, mewujudkan perdamaian dunia yang dibangun atas keadilan, menjaga negara dari hak asasi manusia dan menyebarkan dakwah Islam. Karenanya, jika kemaslahatan individu terbentur dengan kemaslahatan umat dan manusia maka didahulukan kemaslahatan umat daripada kemasalahatan individu.

Penutup

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk al-tahâluf al-Siyasiy (koalisi politik) adakalanya sesama muslim yakni koalisi ideologis, dan adakalanya berbeda agama. Koalisi idiologis hanya dapat dilakukan dengan kelompok atau orang yang memiliki idiologi dan agama yang sama dalam berbagai persoalan dari yang paling prinsip hingga yang paling sederhana demi kemaslahatan umat sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Oleh karena itu, yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya koalisi dengan non muslim adalah kemaslahatan umat.

Namun bentuk koalisi era modern ini kelihatannya bermiripan dengan zaman sebelumnya, jika dahulu koalisi dilakukan dengan antar kabilah. Kini, koalisi dilakukan antar partai-partai politik untuk membangun sebuah pemerintahan efektif. Sekalipun demikian, koalisi dahulu dan sekarang dapat dikatakan secara substansinya tidak jauh berbeda ditinjau secara tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan.

Karena itu, pergerakan Islam hendaknya mengadakan perjanjian atau melakukan kesepakatan (koalisi) untuk saling membantu dalam kebenaran, membela yang teraniaya atau lemah dan melawan kepada para pembangkang yang melakukan kezhaliman dan tidak serta merta mengikuti selera dan kepentingan penguasa melainkan dengan menjunjung tinggi kemaslahatan umat yang jauh lebih besar daripada kepentingan individu dan kelompok.

Selanjutnya, koalisi yang telah dibangun selama lima tahun yang lalu antara PKS dan Pemerintahan SBY dapat dikatakan efektif dan konsisten sesuai dengan nota kesepahaman dalam melakukan agenda perubahan. Antara lain, Pemberantasan korupsi di negeri ini semakin membaik dengan eksistensi lembaga KPK sekalipun masih belum tuntas secara keseluruhan. Selain itu, pemerintah Indonesia mendukung perjuangan Palestina dengan tidak membuka diplomatik dengan Zionis Israel. Terlepas kelebihan dan kekurangan dalam koalisi politik dengan pemerintah SBY-JK, hendaknya agenda perubahan mendasar negeri ini yang dikedepankan bukan hanya untuk bagi-bagi kekuasaan. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi ushûli al-Syari’ah, Juz 2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Ahmad al-Raisûni, Nazhariah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi, (Riyâdh: al-Ma’had al-âlami li al-Fikri al-Islâmiy, 1995.
Ahmad Raisûni dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd, al-Nash, al-Wâqi’, al-Maslahah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2002.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos, 2005)
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1996)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam al-Washîth, tp.tt, hal 192.
Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2001.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid 2 Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Kebijakan Dasar PKS.
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl Fiqh, .Cairo:Dâr al-Fikr al-„Arabi, t.t.
Muhammad Izzat Shaleh Anini, Ahkâmu al-Tahâluf al-Siyâsiy fi al-Fiqhi al-Islâmiy Tesis: Universitas Najah al-Wathaniyah, Palestina, 2008.
Muhammad Sa’id Ramadhân al-Bûthiy, Dhawâbith al-Maslahah fi al-Syarî’ah al-Islâmiyah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000.
Munir Muhammad Gadhban, al-Tahâluf al-Siyâsi fi al-Islâm, terj, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Penjelasan DPP PKS tentang sikap politik mendukung pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Muhammad Yusuf Kalla pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran kedua.
Rekomendasi DPP PK-Sejahtera tentang pemilihan Capres dan Cawapres, 30 Juni 2004.
Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005.
Shafyu al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahîq al-Makhtûm, Mekkah: Dar al-Syaikhah, tt.
Sri Budi Eko Wardani, Koalisi Partai Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung, Tesis UI, 2007,
Tazdkirah tentang Presiden Wanita oleh Dewan Syariah PKS.
Yusuf Al-Qaradhawi, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, Cairo: Maktabah Wahbah, 1998.

Internet
Aay Muhammad Furkon, dalam “Partai Dakwah Dilema” http://pks-jakarta.or.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=109, 09 Juli 2004.
Hidayat Nur Wahid, Wawancara, 01 Juli 2004. http://www.liputan6.com/news/?id=81274.
http://pemilu.detiknews.com/

Selengkapnya......

Senin, 15 Juni 2009

Prospek Pegadaian Syariah


Ratusan tahun sudah ekonomi dunia didominasi oleh sistem bunga. Hampir semua perjanjian di bidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Di dunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.


Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak melihat sistem bunga sebagai biang keladinya. Karena luput dari pengamatan, Pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.

Selanjutnya perkembangan perbankan Islam merupakan fenomena yang menarik kalangan akademisi maupun praktisi dalam 20 tahun terakhir. Kita patut bersyukur di bangsa Indonesia bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Kemudian Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah.

Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga- lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.

Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.

Fiqh Pegadaian Syariah.

Dalam Fikih Muamalah, perjanjian gadai disebut “rahn”. Rahn menurut bahasa berarti penahanan dan penetapan[1] . sebagaimana firman Allah Swt:

‘“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Qs.74:38

Adapun menurut istilah adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang[2].

Landasan hukum Rahn atau landasan pinjam meminjam dengan jaminan (barg) adalah firman Allah:

Surat Al-Baqarah, ayat 283 :

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.

Landasan hukum lainnya adalah hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ.[3]

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.

Dan hadits dari Anas ra.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ.[4]

“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.

Landasan hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai.

Tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb, adalah merupakan ijtihad yang dilakukan para fukaha.

Unsur-unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut ‘rahin’, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang digadaikan disebut “ marhun “ dan hutang yang disebut “marhun bih”[5]..

Mengenai rukun dan sahnya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai berikut[6] :

1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.

Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

2. Adanya pemberi dan penerima gadai.

Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

3. Adanya barang yang digadaikan.

Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.

4. Adanya utang/hutang.

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.

Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar[7] bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.

Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.

Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati bersama.

Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.

Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.

Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al-Syafi’i dan Al-Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah bin Ja’far :

“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban pemeliharaannya)"[8]

Di tempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :

Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)[9]

Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya[10]. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.

Dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW :

“Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “[11].

Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya[12].

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang[13].

Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah[14].

Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.

Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagi hasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.

Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding) yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.

Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.

Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.

Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).

Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.

Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.

Operasionalisasi Lembaga Gadai Syariah.

Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial.

Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya-biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.

Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlukan dalam kasus-kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian al-Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq[15].

Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai kepada negara.

Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.

a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.

Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu samalain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya -biaya yang nyata- nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.

b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan

dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha.

Kedua pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya–biaya yang nyata-nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti: bea materai, dan biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.

Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.

Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lebaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah. Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun menurut berita dalam praktek banyak bank-bank terutama yang berkantor diwilayah kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam bentuk perhiasan.

Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata-mata untuk membantu masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Karena gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan sistem bunga tetapi dengan sistem bagi hasil.

Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.

Prospek Pegadaian Syariah

Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi (minimum dua kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan aman.

Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya (Oportunity), dan ancamannya (Threat)[16], sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.

(1). Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.

Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.

(2). Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.

Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di negara-negara anggotanya[17].

Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat bunga. Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi juga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dengan agunan polis.

(b). Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan /kerugian secara adil.

(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada di luar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.

(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.

(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.

Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.

b. Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.

(1). Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagi hasil akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya.

Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.

(2). Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar.

(3). Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasl pendapatannya sudah tetap dari bunga.

(4). Karena pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku, tremasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.

Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.

c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah

Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluang dibawah ini :

1. Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama

(a). Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islam jelas-jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.

(b). Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.

(c). Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam, yaitu antara lain :

* Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan (lihat surat Luqman ayat 34).
* Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda (lihat surat Al-Imran ayat 130).
* Memperdagangkan/menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba (lihat terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1551 s/d 1567).
* Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1569 s/d 1572)

Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut diataslah yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.

(2). Adanya peluang ekonomi dari berkembangnya pegadaian syariah

(a). Selama Pronas (dulu, Repelita) diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

(b). Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.

(c). Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

(d). Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.

d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah

Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah.

Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalaui sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian syariah.

Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga-jaga dan mengupayakan penangkalnya.

Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat diatasi.

Perkembangan Pegadaian Syariah di Indonesia

Berdirinya pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa General Manager melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah. Tapi ketika itu ada sedikit masalah internal sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk.

Pada tahun 2000 konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank Muamalat Indonesia (BMI) menawarkan kejasama dan membantu segi pembiayaan dan pengembangan. Tahun 2002 mulai diterapkan sistem pegadaiaan syariah dan pada tahun 2003 pegadaian syariah resmi dioperasikan dan pegadaian cabang Dewi Sartika menjadi kantor cabang pegadaian pertama yang menerapkan sistem pegadaian syariah.

Prospek pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon masyarakat terhadap pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Menurut survei BMI, dari target operasional tahun 2003 sebesar 1,55 milyar rupiah pegadaian syariah cabang Dewi Sartika mampu mencapai target 5 milyar rupiah.

Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. [18]

Program Syariah Perum Pegadaian mendapat sambutan positif dari masyarakat. Dari target omzet tahun 2006 sebesar Rp 323 miliar, hingga September 2006 ini sudah tercapai Rp 420 miliar dan pada akhir tahun 2006 ini diprediksi omzet bisa mencapai Rp 450 miliar.[19] Bahkan Perum Pegadaian Pusat menurut rencana akan menerbitkan produk baru, gadai saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), paling lambat Maret 2007. Manajemen Pegadaian melihat adanya prospek pasar yang cukup bagus saat ini untuk gadai saham.[20]

Bisnis pegadaian syariah tahun 2007 ini cukup cerah, karena minta masyarakat yang memanfaatkan jasa pegadaian ini cukup besar. Itu terbukti penyaluran kredit tahun 2006 melampaui target.

Pegadaian cabang Majapahit Semarang misalnya, tahun 2006 mencapai 18,2 miliar. Lebih besar dari target yang ditetapkan sebanyak 11,5 miliar. Jumlah nasabah yang dihimpun sekitar 6 ribu orang dan barang jaminannya sebanyak 16.855 potong.

Penyaluran kredit pegadaian syariah Semarang ini berdiri tahun 2003, setiap tahunnya meningkat cukup signifikan dari Rp 525 juta tahun 2004 meningkat menjadi Rp 5,1 miliar dan tahun 2006 mencapai Rp 18,4 miliar. Mengenai permodalan hingga saat ini tidak ada masalah. Berapapun permintaan nasabah asal ada barang jaminan akan dipenuhi saat itu pula bisa dicairkan sesuai taksiran barang jaminan tersebut.[21] Demikian prospek pegadaian syariah ke depan, cukup cerah.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam.

b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.

c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.

d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat

e. dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.

f. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak produktif.

g. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal, sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung alternatif yang dipilih.

h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.

i. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.

j. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.

k. Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin hari semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan.

[1]Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, juz 6 (Damaskus: Dar al-Fikr , 1984) hal 4207.

[2]Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV.Masagung, 1988) hal 153.

[3] Hadits riwayat Muslim, Lihat: Shahih Muslim, Juz 8, Bab Jaminan, hal 306.

[4] Hadits riwayat Muslim, Lihat: Shahih Bukhari, Juz 7, Bab Nabi Saw berjual beli, hal 231.

[5] Wahbah Zuhaili, op.cit, hal 4210.

[6]Chaeruddin Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) hal 115-116, lihat juga: Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) hal 107-108.

[7] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Terj Abdul Malik Idris, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal 143.

[8] Masyfuk Zuhdi, op.cit, hal 156.

[9] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam , terj Anshari Umar Sitanggal, (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), hal 180.

[10] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, op.cit, hal 143.

[11] Thahir, op.cit, hal 180.

[12] Masduk , loc.cit, hal 156.

[13] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, loc.cit, hal 144.

[14] Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits Pilihan tentang Ekonomi), (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996), hal 179-184.

[15] Muhammad Akram Kahan, op.cit, hal 182-183.

[16] Jurnal Ekonomi Syariah, Prospek Pegadaian Syariah di Indonesia, (Yogyakarta:Pusat Studi Perbankan Syariah STIE “SBI”, 1997).

[17]Agreement Establishing the Islamic Development Bank, (Jeddah:Daar al-Asfahani Printing Press,1994) hal 6.

[18] Eramuslim.com, 26 Agustus 2005.

[19] Suara Karya-online.com, 04 Desember 2006.

[20] Republika.co.id, 08 Januari 2007.

[21] Harian Umum Republika, 12 Januari 2007.

Selengkapnya......

Pengaruh Peradaban Islam di Eropa

Dalam masa lebih tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol , umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian Dunia kepada kemajuan yang kompleks. Baik kemajuan intelektual maupun kemegahan pembangunan fisik.[1]

Perlu diketahui bahwa Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), salah seorang khalifah dari Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah.

Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Penaklukan diawai dengan pengiriman 500 orang tentara di bawah pimpinan Thariq bin Malik tahun 710 M, Ekspedisi ini berhasil dan ia kembali ke Afrika Utara dengan membawa banyak ghanimah. Musa bin Nushair, gubernur Afrika Utara kala itu mengirim 7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Pasukan kedua ini mendarat di bukit Gibraltar (Jabal Thariq) tahun 711 M. karena musuh yang dihadapinya jumlahnya berlipat ganda, Thariq mendapat tambahan 5000 orang tentara dari Afrika Utara, sehingga pasukannya menjadi 12.000 orang. Pertempuran berhasil sampai Toledo, ibukota Gothia Barat dapat direbut.

Bulan Juni 712 M Musa bin Nushair berangkat ke Andalusia dengan 10.000 tentara dan menaklukan kota-kota yang belum ditaklukan sebelumnya oleh Thariq. Di Kota Talaveria Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa. Pada saat itulah Musa memaklumkan Andalusia menjadi bagian wilayah kekuasaan bani Umayah yang berpusat di Andalusia.[2]

Penaklukan demi penaklukan dimenangkan umat Islam sampai menjangkau Prancis Tengah dan bagian-bagian penting Italia. Kemenangan ini nampak begitu mudah karena daya dukung dari eksternal maupun internal.

Faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam negeri Spanyol sendiri yaitu kondisi sosial, politik dan ekonomi Spanyol dalam keadaan yang memperihatinkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak ke beberapa negeri kecil dan rakyat dibagi-bagi dalam sistem kelas sehingga kehidupan mereka diliputi kemelaratan dan ketertindasan. Sementara penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut penguasa. Dalam situasi seperti ini kaum tertindas menanti juru pembebas dan juru pembebas mereka temukan dalam diri orang Islam.[3]

Adapun faktor internalnya adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan para prajuritnya. Para pemimpin ketika itu adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani dan tabah dalam menghadapi persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan dan tolong menolong. Sikap toleransi dan persaudaraan inilah yang menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.[4]

Pengaruh Peradaban Islam di Eropa

Penaklukan Islam atas Andalus telah mengubah kondisi Spanyol secara umum Penaklukan Islam telah berhasil menlenyapkan bangsa Ghatia dan berbagai pengaruhnya dari negeri tersebut sehingga bangsa Ghatia tidak lagi memiliki kekuatan, melainkan mereka yang berhasil melarikan diri ke pegunungan Jaliqiah yang terletak di barat laut Spanyol.

Kerajaan dan harta kekayaan mereka telah berpindah tangan kepada bangsa Arab sebagai penakluk. Sementara pemerintahan Islam membiarkan sebagian penguasa lama yang telah membantu tetap memerintah, sehingga Julian dikembalikan pada posisi semula sebagai penguasa Sabtah dan harta kekayaannya dikembalikan semua.

Sedangkan orang-orang Yahudi yang menderita dan terhina oleh Penguasa Ghatia diperbolehkan bergerak di sektor perdagangan dan terlindungi di bawah pemerintah Islam.[5]

Bangsa Arab telah memperlakukan mereka yang selama ini hidup dan tertekan dengan baik, sehingga pada masa pemerintahan Islam mereka memperoleh dan menikmati hak-hak sipil secara luas. Di sisi lain bangsa Arab memperkokoh stabilitas dan perdamaian di antara berbagai etnis yang berlainan. Karenanya bangsa Spanyol sebagai bangsa yang patuh dengan pemerintah Islam didapatkan sikap toleran sebagaimana yang diharapkan.

Sejumlah besar dari penduduk lapisan bawah telah beralih menjadi pemeluk Islam yang taat. Perhatian mereka kini beralih terhadap Islam dari kehidupan masa lalu di bawah para pemimpin yang tidak pernah memperhatikan dan mengubah nasib bguruk mereka serta kehidupan yang penuh penindasan dan perampasan terhadap rakyatnya.[6]

Kita mengetahui bahwa peradaban Yunani muncul di Eropa kemudian datang berikutnya bangsa Romawi, mereka menyebarkan peradaban dan menguasai seluruh daerah Eropa kecuali kaum bar-bar.

Pada abad empat masehi, bangsa Bar-bar datang ke Eropa dari Asia Tengah dan Utara Eropa, mayoritas mereka tidak menetap (nomaden). Mereka menekan batasan Bangsa Romawi sehingga bangsa Bar-bar menguasai mereka. Kemudian peradaban Yunani berpindah ke Timur demi menyelamatkan kebudayaan Romawi ke Konstantinopel ibukota Imperium Bizantium.

Bangsa Eropa kala itu pada zaman pertengahan belum memiliki peradaban yang maju. dikenal zaman itu dengan zaman kegelapan. Belum dijumpai daerah-daerah yang menjadi pusat pencerahan kecuali daerah-daerah tertentu saja, itu pun yang ditempati oleh para pendeta yang memahami bahasa Yunani dan bahasa latin.

Dengan masuknya Islam ke Spanyol, merubah tatanan baru dan pencerahan terhadap bangsa Eropa dengan sebuah peradaban baru yakni peradaban Islam yang dibawa oleh bangsa Arab dan masuk melalui Spanyol. Karenanya, sulit dipungkiri kemajuan Eropa tidak bisa dilepaskan dari pemerintah Islam di Spanyol.

Peradaban Islam masuk di Eropa

Peradaban Islam masuk di Eropa dengan empat cara berikut ini:[7]

1. Melalui Andalusia (Spanyol).

Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia.[8]
Bangsa arab selama 8 abad lamanya menempati daerah ini. Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti: di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo.

Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban arab. Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa arab disebut musta’rib[9]. Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan terjemahan injil ke dalam bahasa Arab.
Sebagaimana disebutkan syalabi bahwa orang Spanyol telah meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang pendeta di Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab.[10]

Sejak pertama kali Islam mengijakkan kaki di Spanyol sebagaimana disebutkan dalam pengantar paper ini hingga kerajaan Islam berakhir di sana. Islam memainkan peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah peradaban Islam pindah ke Eropa.

2. Melalui Sisilia

Kita mengetahui bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah atau 10 Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat, mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta menguasai Selatan Italia sampai Roma.

Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban Islam di Italia.

Dunia Kristen latin ini merasakan pengaruh Muslim melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia tahun 652, ketika kota Siracusa dimasuki, orang-orang Arab memiliki angkatan perang yang mampu menandingi angkatan perang Bizantium.
Pendudukan Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti pendudukan atas Spanyol. Pada pertengahan abad ke-18, ksatria Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di Italia bagian selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen. Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus ksatria di bawah pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan Bizantium dan mendirikan kerajaan Norman.

Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia dan berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh wilayah tersebut sampai 1091.[11]

Dengan demikian, kehadiran orang-orang Arab di Spanyol dan Sisilia, keunggulan Arab secara perlahan menemukan jalur masuknya ke Eropa Barat. Meskipun Eropa Barat telat menjalin hubungan dengan Imperium Bizantium, ia jauh lebih banyak mengambil alih kebudayaan orang-orang Arab ketimbang orang-orang Bizantium.[12]

3. Melalui datangnya orang-orang salib di Timur Islam.

Invasi atas Spanyol dan Sisilia memberi arti bahwa suatu waktu Islam hadir di daerah pinggiran Kristen Latin. Namun demikian, kehadiran ini bukanlah persoalan pentingnya menuntut reaksi besar-besaran kecuali dari wilatah-wilayah tetangga yang dekat dengan wilayah kaum muslim itu sendiri. Karenanya reaksi itu menjadikan munculnya gerakan perang salib pada abad ke 11. Hal ini bias dianggap sebagai reaksi yang besar terhadap kehadiran Islam, tetapi pusatnya justru di bagian Utara Perancis, yang jauh kontaknya secara langsung di Negara-negara Islam.[13]

Selama perang salib ini telah mengakibatkan terjadinya tukar menukart pengaruh budaya di antara mereka, atau lebih tepatnya penerimaan orang-orang Eropa atas corak-corak kebudayaan Islam. Penyebaran budaya ini tidak diragukan lagi dengan ditopang oleh keterampilan dan ketangguhan orang-orang Arab dalam bidang perdagangan.

Di seluruh wilayah yang tunduk di bawah pemerintahan Islam, tidak hanya terdapat kebudayaan Islam saja yang relative homogen melainkan juga barang-barang yang dihasilkan kaum muslim tersebar jauh melampaui batas-batas wilayah Islam.[14]

Selanjutnya orang-orang salib menetap di Timur Islam dalam waktu yang cukup lama sejak abad 5 H sampai 7 H (Abad 12 sampai 17 M). karenanya terjadi hubungan yang intensif dengan seluruh peradaban Islam yang mengherankan mereka. Walaupun peperangan terus terjadi antara kaum muslimin tidak menutup para cendekiawan mereka mengambil seluruh peradaban Islam dengan cara menyaksikan sendiri.

Serangkaian perang Salib di wilayah-wilayah Islam tidak diragukan lagi telah memberikan sumbangan penyebaran kebudayaan Arab di Eropa Barat.

4. Pertukaran perniagaan antara timur dan barat melalui Mesir.

Peristiwa ini terjadi sejak datangnya bangsa Fatimiah di Mesir dan menjadikan Mesir sebagai pusat politik, perdagangan dan kebudayaan. Karena itu penyerangan Mongol di Irak menjadikan Mesir sebagai ka’bah peradaban Islam di era dinasti Mamalik sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun bahwa munculnya peradaban di Mesir dengan kembalinya peradaban Islam sejak ribuan tahun yang lalu.

Maka muncullah di Mesir gerakan Ilmu dan seni yang menjadikan para penuntut ilmu datang dari Timur dan Barat. Ibnu Khaldun melanjutkan dengan perkataannya ”Saya tidak melihat Mesir kecuali sebagai induknya Ilmu, wadahnya Islam dan sumber ilmu serta pusat perniagaan.

Mesir telah membantu kemajuan peradaban di Eropa, adapun kota-kota di Eropa seperti: Pisa, Genova, Venezis, Napoli, Firenze memiliki hubungan dagang dengan Mesir. Kota-kota inilah yang kemudian menjadi bangkitnya Eropa atau yang dikenal dengan renaissance serta menjadi cikal bakal peradaban modern di Eropa.

Bukti Peradaban Islam di Eropa

Bukti adanya peradaban Islam di Eropa, pengaruhnya dapat dirasakan dengan berbagai buku yang diterjemahkan dari bahasa arab ke bahasa latin, bahasa Thalia dan Ibrani. Buku-buku tersebut memenuhi perpustakaan Eropa di era-era awal. Dengan kata lain berlangsungnya penerjemahan besar-besaran dari bahasa Arab ke bahasa latin.

Hal ini menunjukan majunya keilmuan Islam dengan segala cabangnya. Begitu pula di era kebangkitan Eropa ketika bangsa Eropa kembali dengan ilmu-ilmu Yunani klasik, mereka menjumpai buku-buku yang memang telah dimuat dalam khazanah buku muslimin. Karenanya sebuah peradaban berdiri tidak lepas dari peradaban sebelumnya.

Buku-buku lain yang mereka nukilkan adalah ilmu filsafat, ilmu kedokteran, (buku-buku Ibnu sina dan Ar-Razi yang sudah diterjemahkan). Buku-buku kedokteran ini diajarkan di kampus-kampus Eropa sampai abad 18 tak terkecuali Sekolah Salerno yang dianggap sebagai sekolah kedokteran pertama di Eropa.
Ibnu Sina dan Razi menjadi referensi kuliah kedokteran di Paris bahkan lebih dari itu teori-teori Ibnu Khaldun yang menjadi peletak dasar ilmu sosial masih dikenal di kampus-kampus Eropa sampai sekarang.

Selanjutnya dalam review buku ini disebutkan para penterjemah yang berasal dari agama dan suku bangsa yang berbeda; mereka menukil dan pindahkan ilmu bangsa Arab ke bangsa Eropa yang dimulai dari abad 11 Masehi hingga akhir era pertengahan, antara lain: Gerberto, Adelard ofbath, Leonardo Pisano, Petrus alfons, dll.

Ketergantungan Eropa yang terus menerus kepada kedokteran Arab hingga abad ke 15 dan ke 16 ditunjukkan dengan daftar buku yang dicetak. Dari semua daftar itu, buku pertama adalah komentar Ferrari da Grado, seorang guru besar di Pavia, atas bagian dari Continens, ensiklopedi besar karangan al-Razi. Karangan Ibnu Sina, Canon dicetak pada tahun 1473, lalu pada tahun 1475. dan sudah pada cetakannya yang ketiga bahkan sebelum karya Galen dicetak.

Hingga tahun 1500, buku ini sudah dipublikasikan dalam cetakkan yang keenam belas. Karena masih terus digunakan hingga tahun 1650, buku itu dipandang sebagai karya dalam bidang kedokteran yang paling banyak dipelajari sepanjang sejarah. Buku ini diikuti oleh karya-karya terjemahan dari bahasa Arab lainnya, termasuk beberapa karangan al-Razi, Ibnu Rushd, Hunain bin Ishaq dan Haly Abbas.

Dalam karya Ferrari de Gardo, misalnya; Ibnu Sina dikutip lebih dari tiga ribu kali, al-Razi dan Galen masing-masing seribu kali, sedang hippocrates hanya seratus kali. Dengan demikian, kedokteran Eropa abad ke-15 dan ke-16 masih merupakan kedokteran yang sedikit lebih luas dari sekedar kepanjangan kedokteran arab.[15]

Hal lainnya dapat dijumpai dalam karya sastra yang seluruhnya berasal dari bahasa Arab, buku yang paling populer, diantaranya: كليلة و دمنة , ألف ليل وليلة , dll. Pengaruh karya sastra bangsa Eropa banyak diilhami dari dua buku ini. Sebut saja sastrawan modern barat Shakespeare yang berasal dari Inggris, banyak tulisannya sangat terpengaruh dari cerita-cerita timur.

Bukti lain dari pengaruh peradaban Islam di Eropa adalah kata yang berasal dari bahasa Arab dan masih digunakan sampai sekarang. Bukti ini bisa dikatakan yang paling besar pengaruhnya di bangsa Eropa, kalimat-kalimat bahasa Arab ini dapat dijumpai dalam bahasa Spanyol, Portugis, Italia dan lainnya. Mencakup pula bahasa tentang kehidupan dan ilmu pengetahuan. Antara lain: Chiffre adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yakni صفر (nol), berarti penomoran dari arab. Admiral atau Amiral kata dari أمير البحر (pemimpin laut), Cable yaitu الحبل (kabel), dsb.

Masih banyak lagi bukti pengaruh peradaban Islam di Eropa baik dari musik dan kesenian, arsitek bangunan, pertanian dan perdagangan serta ilmu peta. Untuk pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan kota, istana, masjid dan taman-taman. Di antara bangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, masjid Sevile, istana al-Hamra di Granada, istana al-Makmun, tembok toledo dan istana Ja’fariyah di Saragosa.

Sebagaimana disebutkan bahwa Cristoper Colombus telah menelaah peta Arab saat itu tersebar di Eropa yang telah diungkap sebelumnya oleh ahli geografi orang-orang Arab, mereka dikenal dengan المغرّرين yang berjumlah 8 orang, mereka berjalan dalam lautan yang gelap ke barat selama 11 hari kemudian terus melaut ke selatan 12 hari sampai masuk ke salah satu selatan pulau Amerika.

Disebutkan pula dalam buku Masalikul Abshor karangan ibnu Fadlillah Al-Umari bahwa sekelompok orang dari bani Barzal melaut ke lautan gelap; pastilah nama Brazil diambil dari nama-nama mereka. Begitu juga penemuan Portugis di Afrika, kedatangan bangsa Eropa ke Hindia didasari dengan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Arab.
Penutup

Prinsipnya penulis sepakat dengan Abdul Mun’im Majid dalam bukunya: Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah fil Ushuri al-Wustho bahwa kebudaayan Islam dan Arab sangat mempengaruhi peradaban Eropa waktu itu apalagi bangsa Eropa ketika itu masuk dalam era kegelapan. Begitu Islam masuk ke Eropa melalui Spanyol telah membawa Eropa maju pesat dengan memunculkan gerakan renaissance atau gerakan kebangkitan Eropa.

Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang telah dikemukakan di atas bahwa saluran peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa melalui Spanyol, Sisilia, perang Salib maupun pertukaran perniagaan. Tetapi Saluran yang terpenting dalam hal ini adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam. Baik dalam hubungan politik, sosial, ekonomi maupun peradaban antar negara. Bahwa suatu kenyataan sejarah Spanyol selama tujuh abad lebih berada dalam kekuasaan Islam.

Pengaruh peradaban Islam termasuk di dalamnya pemikiran ibnu Sina, Razi dan ibnu Rusyd, pemikiran yang paling banyak dipelajari. Kemudian banyaknya para pemuda Eropa yang belajar ke univesitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Sevile, Granada, Malaga dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjamahan adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya mereka mendirikan sekolah dan universitas.

Universitas pertama di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 universitas. Ilmu yang mereka peroleh dari universitas adalah ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat.

Pengaruh ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Eropa yang berlangsung abad 12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa abad ke 14 M. berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.

Walaupun akhirnya Islam terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi Islam telah membidangi gerakan kebangkitan di Eropa, gerakan kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik padan abad 14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke 18 M.[16]

Montgemary Watt menyebutkan bahwa pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa dengan tiga hal; Pertama, sumbangan orang Arab ke Eropa tidak diragukan lagi terutama dalam hal-hal yang menyokong perbaikan tingkat kehidupan dan memperkokoh basis materialnya. Kedua, sebagian besar orang Eropa kurang menyadari pengaruh orang Arab dan karakter Islam yang mereka ambil dan ketiga, kesastraan orang-orang Arab dan yang menyertainya telah merangsang tumbuhnya imajinasi Eropa dan kejeniusan politik orang Romawi.[17] (dimuat dalam jurnal el-hikmah, STIDDI Al-Hikmah, edisi 1, januari 2009)

Catatan Kaki:

[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Grafindo Persada, cet ke-16, 2004) hal 100.

[2] Siti Maryam, et.al, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Jur SPI Fak Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003) hal 94.

[3] Badri Yatim, op.cit, hal 91.

[4] Ibid, hal 93.

[5] Taqiyuddin bin Ahmad bin Ali al-Muqraizi, Nafkh at-Thib min Ghusn al-Andalus, jilid 1 (Mesir: Bulaq, 1862). hal 126-127.

[6] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 2, terj. H.A Bahauddin, (Jakarta: Kalam Ilahi, 2003) hal 82.

[7] Lebih lanjut lihat Abdul Mun’im Majid, Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah fil Ushuri al-Wustho, (Cairo: Maktabah Misriyah,1978)

[8] W. Montgemary Watt, Islam dan Peradaban Dunia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1997) hal 2.

[9] Musta’rib adalah kelompok yang tetap kepada keyakinannya tapi meniru adat istiadat bangsa Arab baik bertingkah laku maupun bertutur kata. (lihat: Siti Maryam: Sejarah Perdaban Islam, hal 99)

[10] Syalabi, Mausu’ah Tarikh, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Misriyah,1983) hal 89-90.

[11] W.Montgemary Watt, op.cit, hal 6-7.

[12] Ibid, hal 42.

[13] Ibid, hal 18.

[14] Ibid, hal 22.

[15] M.Montgemary Watt, loc,cit, hal 99.

[16] S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, cet ke-2, 1986) hal 77.

[17] W. Montgemary Watt, hal 42.

Selengkapnya......