Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Senin, 15 Juni 2009

Prospek Pegadaian Syariah


Ratusan tahun sudah ekonomi dunia didominasi oleh sistem bunga. Hampir semua perjanjian di bidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Di dunia, diantara negara maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang didalam negara berkembang, kesenjangan itupun semakin dalam.


Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak melihat sistem bunga sebagai biang keladinya. Karena luput dari pengamatan, Pemerintah di negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga yang build – in concept – nya memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.

Selanjutnya perkembangan perbankan Islam merupakan fenomena yang menarik kalangan akademisi maupun praktisi dalam 20 tahun terakhir. Kita patut bersyukur di bangsa Indonesia bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Kemudian Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah.

Sebagian umat Islam di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga- lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.

Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana syariah, diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan demikian untuk berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap berbagai aspeknya secara luas dan mendalam.

Fiqh Pegadaian Syariah.

Dalam Fikih Muamalah, perjanjian gadai disebut “rahn”. Rahn menurut bahasa berarti penahanan dan penetapan[1] . sebagaimana firman Allah Swt:

‘“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Qs.74:38

Adapun menurut istilah adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang[2].

Landasan hukum Rahn atau landasan pinjam meminjam dengan jaminan (barg) adalah firman Allah:

Surat Al-Baqarah, ayat 283 :

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.

Landasan hukum lainnya adalah hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ.[3]

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.

Dan hadits dari Anas ra.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ.[4]

“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.

Landasan hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai.

Tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb, adalah merupakan ijtihad yang dilakukan para fukaha.

Unsur-unsur rahn adalah : orang yang menyerahkan barang gadai disebut ‘rahin’, orang yang menerima barang gadai disebut “ murtahin “, dan barang yang digadaikan disebut “ marhun “ dan hutang yang disebut “marhun bih”[5]..

Mengenai rukun dan sahnya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai berikut[6] :

1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai.

Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

2. Adanya pemberi dan penerima gadai.

Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

3. Adanya barang yang digadaikan.

Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.

4. Adanya utang/hutang.

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.

Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar[7] bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.

Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan Kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.

Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati bersama.

Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.

Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan hutang dalam keadaan utuh.

Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al-Syafi’i dan Al-Darulquthni dari Muswiyah bin Abdullah bin Ja’far :

“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban pemeliharaannya)"[8]

Di tempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW :

Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-Bukhari)[9]

Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya[10]. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya.

Dari Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW :

“Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang “[11].

Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya[12].

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang[13].

Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan. Hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah[14].

Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk uang (bukan prosentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.

Apabila peminjam memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagi hasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.

Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang miskin karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tiak produktif (hoarding) yang dapat digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.

Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai syariah sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada lembaga gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga hutang piutang syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.

Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan suatu bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut berbagai aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah pelengkap dari lembaga hutang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum gadai dalam keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi keadaan yang tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi hutangnya maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.

Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabaha), dan jual beli dengan pembayaran angsuran (baiu bithaman ajil).

Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.

Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.

Operasionalisasi Lembaga Gadai Syariah.

Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial.

Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya-biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.

Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada peminjam dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya diperlukan dalam kasus-kasus dimana pengembalian hutang tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian al-Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq[15].

Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai kepada negara.

Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya kelengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.

a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan.

Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu samalain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya -biaya yang nyata- nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.

b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan

dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha.

Kedua pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya–biaya yang nyata-nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti: bea materai, dan biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.

Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.

Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lebaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah. Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun menurut berita dalam praktek banyak bank-bank terutama yang berkantor diwilayah kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam bentuk perhiasan.

Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata-mata untuk membantu masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Karena gadai dalam hukum islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan sistem bunga tetapi dengan sistem bagi hasil.

Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.

Prospek Pegadaian Syariah

Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi (minimum dua kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan aman.

Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya (Oportunity), dan ancamannya (Threat)[16], sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.

(1). Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.

Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.

(2). Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.

Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di negara-negara anggotanya[17].

Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat bunga. Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak diperkenankan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan, deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi juga mmeberikan pinjaman kepada pemegang polis dengan agunan polis.

(b). Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan /kerugian secara adil.

(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada di luar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagihasil besar kalau hasil usahanya besar.

(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.

(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.

Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.

b. Kelemahan (weakness) dari sistem mudharabah.

(1). Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagi hasil akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya.

Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.

(2). Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang kecil-kecil. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar.

(3). Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasl pendapatannya sudah tetap dari bunga.

(4). Karena pegadaian syariah belum dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku, tremasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama.

Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.

c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah

Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari pelbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluang dibawah ini :

1. Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama

(a). Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islam jelas-jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.

(b). Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.

(c). Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam, yaitu antara lain :

* Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan (lihat surat Luqman ayat 34).
* Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda (lihat surat Al-Imran ayat 130).
* Memperdagangkan/menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba (lihat terjemah Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1551 s/d 1567).
* Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed) (periksa terjemah Hadis Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud, bab Riba no.1569 s/d 1572)

Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam tersebut diataslah yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.

(2). Adanya peluang ekonomi dari berkembangnya pegadaian syariah

(a). Selama Pronas (dulu, Repelita) diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut diharpkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

(b). Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.

(c). Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

(d). Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.

d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah

Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan ilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah.

Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalaui sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan dengan sistem internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian syariah.

Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka diharapkan para cendekiawan muslim dapat berjaga-jaga dan mengupayakan penangkalnya.

Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat diatasi.

Perkembangan Pegadaian Syariah di Indonesia

Berdirinya pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa General Manager melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah. Tapi ketika itu ada sedikit masalah internal sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk.

Pada tahun 2000 konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank Muamalat Indonesia (BMI) menawarkan kejasama dan membantu segi pembiayaan dan pengembangan. Tahun 2002 mulai diterapkan sistem pegadaiaan syariah dan pada tahun 2003 pegadaian syariah resmi dioperasikan dan pegadaian cabang Dewi Sartika menjadi kantor cabang pegadaian pertama yang menerapkan sistem pegadaian syariah.

Prospek pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon masyarakat terhadap pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Menurut survei BMI, dari target operasional tahun 2003 sebesar 1,55 milyar rupiah pegadaian syariah cabang Dewi Sartika mampu mencapai target 5 milyar rupiah.

Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. [18]

Program Syariah Perum Pegadaian mendapat sambutan positif dari masyarakat. Dari target omzet tahun 2006 sebesar Rp 323 miliar, hingga September 2006 ini sudah tercapai Rp 420 miliar dan pada akhir tahun 2006 ini diprediksi omzet bisa mencapai Rp 450 miliar.[19] Bahkan Perum Pegadaian Pusat menurut rencana akan menerbitkan produk baru, gadai saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), paling lambat Maret 2007. Manajemen Pegadaian melihat adanya prospek pasar yang cukup bagus saat ini untuk gadai saham.[20]

Bisnis pegadaian syariah tahun 2007 ini cukup cerah, karena minta masyarakat yang memanfaatkan jasa pegadaian ini cukup besar. Itu terbukti penyaluran kredit tahun 2006 melampaui target.

Pegadaian cabang Majapahit Semarang misalnya, tahun 2006 mencapai 18,2 miliar. Lebih besar dari target yang ditetapkan sebanyak 11,5 miliar. Jumlah nasabah yang dihimpun sekitar 6 ribu orang dan barang jaminannya sebanyak 16.855 potong.

Penyaluran kredit pegadaian syariah Semarang ini berdiri tahun 2003, setiap tahunnya meningkat cukup signifikan dari Rp 525 juta tahun 2004 meningkat menjadi Rp 5,1 miliar dan tahun 2006 mencapai Rp 18,4 miliar. Mengenai permodalan hingga saat ini tidak ada masalah. Berapapun permintaan nasabah asal ada barang jaminan akan dipenuhi saat itu pula bisa dicairkan sesuai taksiran barang jaminan tersebut.[21] Demikian prospek pegadaian syariah ke depan, cukup cerah.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islam dan telah diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam.

b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran Islam. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan sahnya akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan pemilikan barang gadai.

c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan syariat adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.

d. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat

e. dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.

f. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku (hoarding) yang tidak produktif.

g. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal, sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib tergantung alternatif yang dipilih.

h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional karena setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai syariah.

i. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.

j. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.

k. Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin hari semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan.

[1]Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, juz 6 (Damaskus: Dar al-Fikr , 1984) hal 4207.

[2]Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV.Masagung, 1988) hal 153.

[3] Hadits riwayat Muslim, Lihat: Shahih Muslim, Juz 8, Bab Jaminan, hal 306.

[4] Hadits riwayat Muslim, Lihat: Shahih Bukhari, Juz 7, Bab Nabi Saw berjual beli, hal 231.

[5] Wahbah Zuhaili, op.cit, hal 4210.

[6]Chaeruddin Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) hal 115-116, lihat juga: Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) hal 107-108.

[7] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Terj Abdul Malik Idris, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal 143.

[8] Masyfuk Zuhdi, op.cit, hal 156.

[9] Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam , terj Anshari Umar Sitanggal, (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), hal 180.

[10] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, op.cit, hal 143.

[11] Thahir, op.cit, hal 180.

[12] Masduk , loc.cit, hal 156.

[13] Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin, loc.cit, hal 144.

[14] Muhammad Akram Kahan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits Pilihan tentang Ekonomi), (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996), hal 179-184.

[15] Muhammad Akram Kahan, op.cit, hal 182-183.

[16] Jurnal Ekonomi Syariah, Prospek Pegadaian Syariah di Indonesia, (Yogyakarta:Pusat Studi Perbankan Syariah STIE “SBI”, 1997).

[17]Agreement Establishing the Islamic Development Bank, (Jeddah:Daar al-Asfahani Printing Press,1994) hal 6.

[18] Eramuslim.com, 26 Agustus 2005.

[19] Suara Karya-online.com, 04 Desember 2006.

[20] Republika.co.id, 08 Januari 2007.

[21] Harian Umum Republika, 12 Januari 2007.

Selengkapnya......

Pengaruh Peradaban Islam di Eropa

Dalam masa lebih tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol , umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian Dunia kepada kemajuan yang kompleks. Baik kemajuan intelektual maupun kemegahan pembangunan fisik.[1]

Perlu diketahui bahwa Spanyol diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), salah seorang khalifah dari Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah.

Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Penaklukan diawai dengan pengiriman 500 orang tentara di bawah pimpinan Thariq bin Malik tahun 710 M, Ekspedisi ini berhasil dan ia kembali ke Afrika Utara dengan membawa banyak ghanimah. Musa bin Nushair, gubernur Afrika Utara kala itu mengirim 7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Pasukan kedua ini mendarat di bukit Gibraltar (Jabal Thariq) tahun 711 M. karena musuh yang dihadapinya jumlahnya berlipat ganda, Thariq mendapat tambahan 5000 orang tentara dari Afrika Utara, sehingga pasukannya menjadi 12.000 orang. Pertempuran berhasil sampai Toledo, ibukota Gothia Barat dapat direbut.

Bulan Juni 712 M Musa bin Nushair berangkat ke Andalusia dengan 10.000 tentara dan menaklukan kota-kota yang belum ditaklukan sebelumnya oleh Thariq. Di Kota Talaveria Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa. Pada saat itulah Musa memaklumkan Andalusia menjadi bagian wilayah kekuasaan bani Umayah yang berpusat di Andalusia.[2]

Penaklukan demi penaklukan dimenangkan umat Islam sampai menjangkau Prancis Tengah dan bagian-bagian penting Italia. Kemenangan ini nampak begitu mudah karena daya dukung dari eksternal maupun internal.

Faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam negeri Spanyol sendiri yaitu kondisi sosial, politik dan ekonomi Spanyol dalam keadaan yang memperihatinkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak ke beberapa negeri kecil dan rakyat dibagi-bagi dalam sistem kelas sehingga kehidupan mereka diliputi kemelaratan dan ketertindasan. Sementara penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut penguasa. Dalam situasi seperti ini kaum tertindas menanti juru pembebas dan juru pembebas mereka temukan dalam diri orang Islam.[3]

Adapun faktor internalnya adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan para prajuritnya. Para pemimpin ketika itu adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani dan tabah dalam menghadapi persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan dan tolong menolong. Sikap toleransi dan persaudaraan inilah yang menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.[4]

Pengaruh Peradaban Islam di Eropa

Penaklukan Islam atas Andalus telah mengubah kondisi Spanyol secara umum Penaklukan Islam telah berhasil menlenyapkan bangsa Ghatia dan berbagai pengaruhnya dari negeri tersebut sehingga bangsa Ghatia tidak lagi memiliki kekuatan, melainkan mereka yang berhasil melarikan diri ke pegunungan Jaliqiah yang terletak di barat laut Spanyol.

Kerajaan dan harta kekayaan mereka telah berpindah tangan kepada bangsa Arab sebagai penakluk. Sementara pemerintahan Islam membiarkan sebagian penguasa lama yang telah membantu tetap memerintah, sehingga Julian dikembalikan pada posisi semula sebagai penguasa Sabtah dan harta kekayaannya dikembalikan semua.

Sedangkan orang-orang Yahudi yang menderita dan terhina oleh Penguasa Ghatia diperbolehkan bergerak di sektor perdagangan dan terlindungi di bawah pemerintah Islam.[5]

Bangsa Arab telah memperlakukan mereka yang selama ini hidup dan tertekan dengan baik, sehingga pada masa pemerintahan Islam mereka memperoleh dan menikmati hak-hak sipil secara luas. Di sisi lain bangsa Arab memperkokoh stabilitas dan perdamaian di antara berbagai etnis yang berlainan. Karenanya bangsa Spanyol sebagai bangsa yang patuh dengan pemerintah Islam didapatkan sikap toleran sebagaimana yang diharapkan.

Sejumlah besar dari penduduk lapisan bawah telah beralih menjadi pemeluk Islam yang taat. Perhatian mereka kini beralih terhadap Islam dari kehidupan masa lalu di bawah para pemimpin yang tidak pernah memperhatikan dan mengubah nasib bguruk mereka serta kehidupan yang penuh penindasan dan perampasan terhadap rakyatnya.[6]

Kita mengetahui bahwa peradaban Yunani muncul di Eropa kemudian datang berikutnya bangsa Romawi, mereka menyebarkan peradaban dan menguasai seluruh daerah Eropa kecuali kaum bar-bar.

Pada abad empat masehi, bangsa Bar-bar datang ke Eropa dari Asia Tengah dan Utara Eropa, mayoritas mereka tidak menetap (nomaden). Mereka menekan batasan Bangsa Romawi sehingga bangsa Bar-bar menguasai mereka. Kemudian peradaban Yunani berpindah ke Timur demi menyelamatkan kebudayaan Romawi ke Konstantinopel ibukota Imperium Bizantium.

Bangsa Eropa kala itu pada zaman pertengahan belum memiliki peradaban yang maju. dikenal zaman itu dengan zaman kegelapan. Belum dijumpai daerah-daerah yang menjadi pusat pencerahan kecuali daerah-daerah tertentu saja, itu pun yang ditempati oleh para pendeta yang memahami bahasa Yunani dan bahasa latin.

Dengan masuknya Islam ke Spanyol, merubah tatanan baru dan pencerahan terhadap bangsa Eropa dengan sebuah peradaban baru yakni peradaban Islam yang dibawa oleh bangsa Arab dan masuk melalui Spanyol. Karenanya, sulit dipungkiri kemajuan Eropa tidak bisa dilepaskan dari pemerintah Islam di Spanyol.

Peradaban Islam masuk di Eropa

Peradaban Islam masuk di Eropa dengan empat cara berikut ini:[7]

1. Melalui Andalusia (Spanyol).

Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia.[8]
Bangsa arab selama 8 abad lamanya menempati daerah ini. Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti: di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo.

Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban arab. Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa arab disebut musta’rib[9]. Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan terjemahan injil ke dalam bahasa Arab.
Sebagaimana disebutkan syalabi bahwa orang Spanyol telah meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang pendeta di Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab.[10]

Sejak pertama kali Islam mengijakkan kaki di Spanyol sebagaimana disebutkan dalam pengantar paper ini hingga kerajaan Islam berakhir di sana. Islam memainkan peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah peradaban Islam pindah ke Eropa.

2. Melalui Sisilia

Kita mengetahui bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah atau 10 Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat, mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta menguasai Selatan Italia sampai Roma.

Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban Islam di Italia.

Dunia Kristen latin ini merasakan pengaruh Muslim melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia tahun 652, ketika kota Siracusa dimasuki, orang-orang Arab memiliki angkatan perang yang mampu menandingi angkatan perang Bizantium.
Pendudukan Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti pendudukan atas Spanyol. Pada pertengahan abad ke-18, ksatria Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di Italia bagian selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen. Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus ksatria di bawah pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan Bizantium dan mendirikan kerajaan Norman.

Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia dan berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh wilayah tersebut sampai 1091.[11]

Dengan demikian, kehadiran orang-orang Arab di Spanyol dan Sisilia, keunggulan Arab secara perlahan menemukan jalur masuknya ke Eropa Barat. Meskipun Eropa Barat telat menjalin hubungan dengan Imperium Bizantium, ia jauh lebih banyak mengambil alih kebudayaan orang-orang Arab ketimbang orang-orang Bizantium.[12]

3. Melalui datangnya orang-orang salib di Timur Islam.

Invasi atas Spanyol dan Sisilia memberi arti bahwa suatu waktu Islam hadir di daerah pinggiran Kristen Latin. Namun demikian, kehadiran ini bukanlah persoalan pentingnya menuntut reaksi besar-besaran kecuali dari wilatah-wilayah tetangga yang dekat dengan wilayah kaum muslim itu sendiri. Karenanya reaksi itu menjadikan munculnya gerakan perang salib pada abad ke 11. Hal ini bias dianggap sebagai reaksi yang besar terhadap kehadiran Islam, tetapi pusatnya justru di bagian Utara Perancis, yang jauh kontaknya secara langsung di Negara-negara Islam.[13]

Selama perang salib ini telah mengakibatkan terjadinya tukar menukart pengaruh budaya di antara mereka, atau lebih tepatnya penerimaan orang-orang Eropa atas corak-corak kebudayaan Islam. Penyebaran budaya ini tidak diragukan lagi dengan ditopang oleh keterampilan dan ketangguhan orang-orang Arab dalam bidang perdagangan.

Di seluruh wilayah yang tunduk di bawah pemerintahan Islam, tidak hanya terdapat kebudayaan Islam saja yang relative homogen melainkan juga barang-barang yang dihasilkan kaum muslim tersebar jauh melampaui batas-batas wilayah Islam.[14]

Selanjutnya orang-orang salib menetap di Timur Islam dalam waktu yang cukup lama sejak abad 5 H sampai 7 H (Abad 12 sampai 17 M). karenanya terjadi hubungan yang intensif dengan seluruh peradaban Islam yang mengherankan mereka. Walaupun peperangan terus terjadi antara kaum muslimin tidak menutup para cendekiawan mereka mengambil seluruh peradaban Islam dengan cara menyaksikan sendiri.

Serangkaian perang Salib di wilayah-wilayah Islam tidak diragukan lagi telah memberikan sumbangan penyebaran kebudayaan Arab di Eropa Barat.

4. Pertukaran perniagaan antara timur dan barat melalui Mesir.

Peristiwa ini terjadi sejak datangnya bangsa Fatimiah di Mesir dan menjadikan Mesir sebagai pusat politik, perdagangan dan kebudayaan. Karena itu penyerangan Mongol di Irak menjadikan Mesir sebagai ka’bah peradaban Islam di era dinasti Mamalik sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun bahwa munculnya peradaban di Mesir dengan kembalinya peradaban Islam sejak ribuan tahun yang lalu.

Maka muncullah di Mesir gerakan Ilmu dan seni yang menjadikan para penuntut ilmu datang dari Timur dan Barat. Ibnu Khaldun melanjutkan dengan perkataannya ”Saya tidak melihat Mesir kecuali sebagai induknya Ilmu, wadahnya Islam dan sumber ilmu serta pusat perniagaan.

Mesir telah membantu kemajuan peradaban di Eropa, adapun kota-kota di Eropa seperti: Pisa, Genova, Venezis, Napoli, Firenze memiliki hubungan dagang dengan Mesir. Kota-kota inilah yang kemudian menjadi bangkitnya Eropa atau yang dikenal dengan renaissance serta menjadi cikal bakal peradaban modern di Eropa.

Bukti Peradaban Islam di Eropa

Bukti adanya peradaban Islam di Eropa, pengaruhnya dapat dirasakan dengan berbagai buku yang diterjemahkan dari bahasa arab ke bahasa latin, bahasa Thalia dan Ibrani. Buku-buku tersebut memenuhi perpustakaan Eropa di era-era awal. Dengan kata lain berlangsungnya penerjemahan besar-besaran dari bahasa Arab ke bahasa latin.

Hal ini menunjukan majunya keilmuan Islam dengan segala cabangnya. Begitu pula di era kebangkitan Eropa ketika bangsa Eropa kembali dengan ilmu-ilmu Yunani klasik, mereka menjumpai buku-buku yang memang telah dimuat dalam khazanah buku muslimin. Karenanya sebuah peradaban berdiri tidak lepas dari peradaban sebelumnya.

Buku-buku lain yang mereka nukilkan adalah ilmu filsafat, ilmu kedokteran, (buku-buku Ibnu sina dan Ar-Razi yang sudah diterjemahkan). Buku-buku kedokteran ini diajarkan di kampus-kampus Eropa sampai abad 18 tak terkecuali Sekolah Salerno yang dianggap sebagai sekolah kedokteran pertama di Eropa.
Ibnu Sina dan Razi menjadi referensi kuliah kedokteran di Paris bahkan lebih dari itu teori-teori Ibnu Khaldun yang menjadi peletak dasar ilmu sosial masih dikenal di kampus-kampus Eropa sampai sekarang.

Selanjutnya dalam review buku ini disebutkan para penterjemah yang berasal dari agama dan suku bangsa yang berbeda; mereka menukil dan pindahkan ilmu bangsa Arab ke bangsa Eropa yang dimulai dari abad 11 Masehi hingga akhir era pertengahan, antara lain: Gerberto, Adelard ofbath, Leonardo Pisano, Petrus alfons, dll.

Ketergantungan Eropa yang terus menerus kepada kedokteran Arab hingga abad ke 15 dan ke 16 ditunjukkan dengan daftar buku yang dicetak. Dari semua daftar itu, buku pertama adalah komentar Ferrari da Grado, seorang guru besar di Pavia, atas bagian dari Continens, ensiklopedi besar karangan al-Razi. Karangan Ibnu Sina, Canon dicetak pada tahun 1473, lalu pada tahun 1475. dan sudah pada cetakannya yang ketiga bahkan sebelum karya Galen dicetak.

Hingga tahun 1500, buku ini sudah dipublikasikan dalam cetakkan yang keenam belas. Karena masih terus digunakan hingga tahun 1650, buku itu dipandang sebagai karya dalam bidang kedokteran yang paling banyak dipelajari sepanjang sejarah. Buku ini diikuti oleh karya-karya terjemahan dari bahasa Arab lainnya, termasuk beberapa karangan al-Razi, Ibnu Rushd, Hunain bin Ishaq dan Haly Abbas.

Dalam karya Ferrari de Gardo, misalnya; Ibnu Sina dikutip lebih dari tiga ribu kali, al-Razi dan Galen masing-masing seribu kali, sedang hippocrates hanya seratus kali. Dengan demikian, kedokteran Eropa abad ke-15 dan ke-16 masih merupakan kedokteran yang sedikit lebih luas dari sekedar kepanjangan kedokteran arab.[15]

Hal lainnya dapat dijumpai dalam karya sastra yang seluruhnya berasal dari bahasa Arab, buku yang paling populer, diantaranya: كليلة و دمنة , ألف ليل وليلة , dll. Pengaruh karya sastra bangsa Eropa banyak diilhami dari dua buku ini. Sebut saja sastrawan modern barat Shakespeare yang berasal dari Inggris, banyak tulisannya sangat terpengaruh dari cerita-cerita timur.

Bukti lain dari pengaruh peradaban Islam di Eropa adalah kata yang berasal dari bahasa Arab dan masih digunakan sampai sekarang. Bukti ini bisa dikatakan yang paling besar pengaruhnya di bangsa Eropa, kalimat-kalimat bahasa Arab ini dapat dijumpai dalam bahasa Spanyol, Portugis, Italia dan lainnya. Mencakup pula bahasa tentang kehidupan dan ilmu pengetahuan. Antara lain: Chiffre adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yakni صفر (nol), berarti penomoran dari arab. Admiral atau Amiral kata dari أمير البحر (pemimpin laut), Cable yaitu الحبل (kabel), dsb.

Masih banyak lagi bukti pengaruh peradaban Islam di Eropa baik dari musik dan kesenian, arsitek bangunan, pertanian dan perdagangan serta ilmu peta. Untuk pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan kota, istana, masjid dan taman-taman. Di antara bangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, masjid Sevile, istana al-Hamra di Granada, istana al-Makmun, tembok toledo dan istana Ja’fariyah di Saragosa.

Sebagaimana disebutkan bahwa Cristoper Colombus telah menelaah peta Arab saat itu tersebar di Eropa yang telah diungkap sebelumnya oleh ahli geografi orang-orang Arab, mereka dikenal dengan المغرّرين yang berjumlah 8 orang, mereka berjalan dalam lautan yang gelap ke barat selama 11 hari kemudian terus melaut ke selatan 12 hari sampai masuk ke salah satu selatan pulau Amerika.

Disebutkan pula dalam buku Masalikul Abshor karangan ibnu Fadlillah Al-Umari bahwa sekelompok orang dari bani Barzal melaut ke lautan gelap; pastilah nama Brazil diambil dari nama-nama mereka. Begitu juga penemuan Portugis di Afrika, kedatangan bangsa Eropa ke Hindia didasari dengan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Arab.
Penutup

Prinsipnya penulis sepakat dengan Abdul Mun’im Majid dalam bukunya: Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah fil Ushuri al-Wustho bahwa kebudaayan Islam dan Arab sangat mempengaruhi peradaban Eropa waktu itu apalagi bangsa Eropa ketika itu masuk dalam era kegelapan. Begitu Islam masuk ke Eropa melalui Spanyol telah membawa Eropa maju pesat dengan memunculkan gerakan renaissance atau gerakan kebangkitan Eropa.

Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang telah dikemukakan di atas bahwa saluran peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa melalui Spanyol, Sisilia, perang Salib maupun pertukaran perniagaan. Tetapi Saluran yang terpenting dalam hal ini adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam. Baik dalam hubungan politik, sosial, ekonomi maupun peradaban antar negara. Bahwa suatu kenyataan sejarah Spanyol selama tujuh abad lebih berada dalam kekuasaan Islam.

Pengaruh peradaban Islam termasuk di dalamnya pemikiran ibnu Sina, Razi dan ibnu Rusyd, pemikiran yang paling banyak dipelajari. Kemudian banyaknya para pemuda Eropa yang belajar ke univesitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Sevile, Granada, Malaga dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjamahan adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya mereka mendirikan sekolah dan universitas.

Universitas pertama di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 universitas. Ilmu yang mereka peroleh dari universitas adalah ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat.

Pengaruh ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Eropa yang berlangsung abad 12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa abad ke 14 M. berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.

Walaupun akhirnya Islam terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi Islam telah membidangi gerakan kebangkitan di Eropa, gerakan kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik padan abad 14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke 18 M.[16]

Montgemary Watt menyebutkan bahwa pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa dengan tiga hal; Pertama, sumbangan orang Arab ke Eropa tidak diragukan lagi terutama dalam hal-hal yang menyokong perbaikan tingkat kehidupan dan memperkokoh basis materialnya. Kedua, sebagian besar orang Eropa kurang menyadari pengaruh orang Arab dan karakter Islam yang mereka ambil dan ketiga, kesastraan orang-orang Arab dan yang menyertainya telah merangsang tumbuhnya imajinasi Eropa dan kejeniusan politik orang Romawi.[17] (dimuat dalam jurnal el-hikmah, STIDDI Al-Hikmah, edisi 1, januari 2009)

Catatan Kaki:

[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Grafindo Persada, cet ke-16, 2004) hal 100.

[2] Siti Maryam, et.al, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Jur SPI Fak Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003) hal 94.

[3] Badri Yatim, op.cit, hal 91.

[4] Ibid, hal 93.

[5] Taqiyuddin bin Ahmad bin Ali al-Muqraizi, Nafkh at-Thib min Ghusn al-Andalus, jilid 1 (Mesir: Bulaq, 1862). hal 126-127.

[6] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid 2, terj. H.A Bahauddin, (Jakarta: Kalam Ilahi, 2003) hal 82.

[7] Lebih lanjut lihat Abdul Mun’im Majid, Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah fil Ushuri al-Wustho, (Cairo: Maktabah Misriyah,1978)

[8] W. Montgemary Watt, Islam dan Peradaban Dunia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1997) hal 2.

[9] Musta’rib adalah kelompok yang tetap kepada keyakinannya tapi meniru adat istiadat bangsa Arab baik bertingkah laku maupun bertutur kata. (lihat: Siti Maryam: Sejarah Perdaban Islam, hal 99)

[10] Syalabi, Mausu’ah Tarikh, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Misriyah,1983) hal 89-90.

[11] W.Montgemary Watt, op.cit, hal 6-7.

[12] Ibid, hal 42.

[13] Ibid, hal 18.

[14] Ibid, hal 22.

[15] M.Montgemary Watt, loc,cit, hal 99.

[16] S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, cet ke-2, 1986) hal 77.

[17] W. Montgemary Watt, hal 42.

Selengkapnya......

Sumber Keuangan Klasik

Masalah yang berkaitan tentang urusan keuangan dalam khilafah Islam telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dengan hukum-hukum syariatnya dengan penunjukan sember-sumber keuangan untuk umat Islam di awal-awal terdahulu, yakni zakat dan shodaqah [1]. Kedua hal ini diambil dari harta kaum muslimin dan dijadikan harta untuk umat Islam itu sendiri. [2]

Pembahasan tentang sumber keuangan negara di zaman klasik sangat terkait dengan baitul maal. Karenanya seluruh pemasukan keuangan dimasukan dalam kas negara dan dikenal dengan nama baitul maal. Pemasukan keuangan negara ini bisa berupa Kharâj (pajak), Shadaqah, A’syar (1/10), Akhmâs (1/5), dan Jizyah dan sejenisnya. Tetapi untuk sumber keuangan yang berupa shadaqah, ghanimah dan fai’ adalah hak yang mesti diberikan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

Untuk itu dibentuklah Baitul Mal untuk menyimpan dana dan dikeluarkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hal ini mirip dengan Departemen Keuangan di era sekarang yang dikelola oleh seorang menteri. Dahulu juga dikelola oleh kepala baitul mal. kita akan mengenalnya lebih dari itu, kita akan membahasnya dalam paper ini.

Ghanimah

Awal Mula Harta Rampasan (Ghanimah)

Setelah kaum muslimin memenangkan perang badar, Nabi memerintahkan sebagian pasukan kaum muslimin mengumpulkan dan mengelompokan harta-harta rampasan yang didapat dari kaum kafir quraisy. Harta rampasan yang berhasil dikumpulkan berupa: 10 ekor kuda, 150 ekor unta dan bermacam-macam alat perang seperti pedang dan panah serta berbagai macam pakaian, bahan makanan dan lain-lain.

Sehubungan dengan harta rampasan perang Badar ini, Nabi Saw belum mendapatkan petunjuk dari Allah tentang cara pembagiannya. Karenanya, ketika kaum muslimin hendak meninggalkan badar, timbulah sedikit perselisihan mengenai pembagiannya.

Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa harta rampasan itu harus dibagikan rampasan hanya kepada orang-orang yang telah membunuh musuh, yang lainnya tidak. Pendapat lainnya bahwa harta rampasan itu dibagikan kepada orang-orang yang mengawal Nabi Saw dari serangan musuh, yang lainnya tidak. Sebagian lagi berpendapat bahwa harta rampasan itu dibagikan kepada orang-orang yang mengumpulkan dan menjaga harta itu, yang lainnya tidak. Ketiga pendapat ini dikemukakan oleh masing-masing pihak dengan alasan yang sama kuatnya. Karena itu, Nabi Saw memerintahkan semua harta rampasan dikumpulkan dan diserahkan ke beliau. Seketika itu turunlah wahyu kepada Nabi Muhammad Saw:

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." Qs.Al-Anfal:1.

Sesudah ayat ini turun, semua harta rampasan diserahkan kepada Nabi Saw dan perselisihan pun dapat diselesaikan, masing-masing menunggu keputusan dari Allah dan Rasul-Nya.[3]

Cara Pembagian Harta Rampasan (Ghanimah)

Selanjutnya Nabi Saw menerima semua harta rampasan itu yang kemudian akan dibagikan harta rampasan Badar tadi. Nabi Muhammad Saw menerima wahyu yang berkaitan dengan hal ini.

“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Qs:Al-Anfal:41

Dengan turunnya ayat ini, Nabi Saw membagi-bagikan harta rampasan perang Badar ini dengan adil sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Swt.

Menurut sebagian ulama tarikh, sebelum Nabi Muhammad membagi-bagikan semua harta rampasan perang Badar, beliau membagi semuanya atas lima bagian. Empat bagian (80%), beliau bagikan kepada pasukan perang dengan rata, sedangkan sebagiannya (20%) diberikan kepada lima bagian, yaitu untuk: 1. Allah dan Rasul-Nya 2. para kerabat nabi yang masuk Islam, 3. anak-anak yatim, 4. orang-orang miskin, dan 5. ibnu sabil.[4]

Fai’

Awal mula pembagian Harta Fai’ kepada para shahabat

Dalam peristiwa perang Bani Nadhir, Nabi Saw memutuskan bahwa kaum yahudi Bani Nadhir harus diusir dari kota Madinah dan jika menolak harus diperangi. Karena nyata-nyata kaum yahudi Bani Nadhir telah berbuat khianat kepada kaum muslimin. Nabi memerintahkan shahabatnya Muhammad bin Maslamah datang kepada Bani Nadhir untuk mengusir mereka. Singkat cerita, kaum yahudi tidak beranjak dari kampung mereka dan menantang untuk melawan dengan perang. Kemudian kaum muslimin mengepungnya hingga 20 hari lamanya dan yahudi minta damai yang kemudian diusir dari Madinah menuju Khaibar.[5]

Kemudian alat-alat perang yang ditinggalkan mereka dikumpulkan oleh kaum muslimin dan diserahkan kepada Nabi Saw, antara lain: 340 pedang, 50 baju perang dan berpuluh-puluh tombak.

Harta rampasan yang diperoleh dari Yahudi Bani Nadhir ini disebut Fa’I sebagimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr:6-7.

6. Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Jadi, dapat kita fahami bahwa Fa’i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. ghanimah adalah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. pembagian fa’i sebagai yang tersebut pada ayat 7. sedang pembagian ghanimah tersebut pada ayat 41 Al Anfal dan yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinamakan fa'i.

Peristiwa pengusiran yahudi Bani Nadhir atau perang Bani Nadhir tidak sampai mempergunakan senjata dan tidak pula terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Kaum muslimin hanya melakukan pengepungan dan mengusir pihak musuh. Oleh karena itu, hasil harta rampasan yang diperoleh dari Bani Nadhir itu bukan dinamakan ghanimah, tetapi dinamakan fai’, bukan dari rampasan perang tetapi dari rampasan pengusiran. Karenanya pembagiannya tidak sama dengan ghanimah.

Maka dengan ini, harta yang diperoleh dari Bani Nadhir diserahkan kepada Nabi Saw dan dikuasai semuanya oleh Nabi untuk dibagi-bagikan kepada siapa saja yang dikehendaki.

Dalam pengertian syar’I, fai’ adalah setiap harta yang diperoleh dari kaum musyrikin dengan tidak adanya pertempuran. Masuk di dalamnya Jizyah, Kharaj, A’syar. Nabi Saw mendapat 1/5 dari fai’ sebagaimana ia mendapat 1/5 dari ghanimah dan bagiannya tetap diambil setelah ia wafat tetapi menjadi hak baitul mal. 4/5 bagian lainnya dibagikan secara merata kepada pasukan perang baik muhajirin maupun anshor.

Shadaqah dan Zakat

Shadaqah dan Zakat dua lafal yang sama yakni diambil dari orang-orang kaya kaum muslimin dan diberikan kepada kaum fakir dan miskin. Adapun sumber-sumber zakat ada empat: Zakat ternak, zakat emas dan perak, zakat buah-buahan, dan zakat tanaman.

Zakat berarti suci sebagiamana seorang muzakki mengeluarkan zakatnya untuk membersihkan dirinya, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:

103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Qs.9:103

Jizyah

Sejarah jizyah dikenal sebelum adanya Islam yakni dilakukan oleh Bangsa Yunani kepada negeri daerah Asia Kecil sekitar abad 5 SM untuk melindungi penduduk dari serangan Persia. Begitu juga Bangsa Romawi melakukan pemungutan zakat kepada daerah yang dikuasainya, bahkan mengambil pazak jauh lebih besar dari pajak kaum muslimin paska itu. Bangsa Romawi memungut pajak 7 kali lipat lebih besar dari pungutan kaum muslimin sebagaimana pungutan pajak negeri ghalia (Prancis, sekarang).

Banyaknya pemungutan jizyah yang pernah dilakukan Nabi Saw dengan melihat kondisi yang ada. Pengambilan pajak dilakukan dengan konsesus dengan ridho antar dua belah pihak antara kaum muslimin dan non muslim. [6]

Jizyah adalah dana yang tertentu yang dikenakan per kepala dari ahli dzimmah dan terputus dengan masuk Islamnya orang tersebut. Dikuatkan dengan nash dalam Al-Qur’an:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. Qs.9:29.

Perbedaan antara jizyah dan kharâj, Kharâj adalah pajak yang dikenakan atas tanah bukan orang dan tidak terputus dengan masuk Islam dan telah ditetapkan dengan ijtihad.

Telah diwajibkan untuk membayar jizyah bagi ahli dzimmah sepadan dengan zakat yang diwajibkan atas kaum muslimin sehingga kedua belah pihak terlindungi, karena keduanya terjaga dalam satu negara. Mereka mendapat dan menikmati hak yang sama. Karenanya Allah Swt mewajibkan atas mereka (ahli dzimmah) jizyah untuk kaum muslimin untuk melindungi dan menjaga mereka yang di sana terdapat negeri-negeri Islam.[7]

Dikenakan banyaknya jizyah sebagai berikut:

1. Orang-orang kaya diambil sebanyak 48 dirham.
2. Orang-orang menengah diambil sebanyak 24 dirham.
3. di bawah menengah diambil 12 dirham.
4. Untuk orang miskin yang berhak meneraima shodaqoh tidak dipungut jizyah, juga orang yang tidak mampu bekerja, orang buta, pensiun, orang gila, dan sejenisnya. Jizyah juga hanya dibebani kepada orang-laki-laki merdeka, berakal dan dewasa dan tidak diwajibkan kepada wanita dan anak-anak.

Kharaj

Kharâj berfungsi sebagai strategi pemasukan keuangan setiap negara untuk merealisasikan anggaran antara pemasukan dan pengeluaran. Kharaj telah dikenal dalam dunia Islam sejak mulanya. Maka dibentuklah Baitul Mal untuk menyimpan dana dan dikeluarkan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

Dana yang masuk dalam Baitul Mal terdiri diri pajak atau yang lainnya selain tanah. Pemasukan dana Baitul Mal yang paling penting adalah al-Kharaj, Jizyah, Zakat, Fai’, Ghanimah, Usyur. Adapun Kharaj bisa berupa sesuatu yang terukur dari harta atau perhiasan sebagaimana yang dilakukan penaklukan Umar bin Khattab dengan tanah Sawad (tanah yang hijau penuh dengan pohon dan tanaman).

Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam ukurn kharaj, sebagian berpendapat dengan kewajiban pajak per kepala yang diwajibkan atas ahli dzimmah, pendapat lain adalah dengan kewajiban pajak atas tanah

Penentuan Kharaj tidaklah pasti, disesuaikan dengan daerah masing-masing. Di Zaman daulah Abbasiah kharaj yang diambil dari daerah-daerah Timur dengan Dirham dan daerah-daerah Barat dengan Dinar. Krena, penyebaran perak lebih banyak di daerah Timur daripada daerah Barat.

Dan masih dapat dijumpai pajak-pajak lainnya yang diambil dari pajak produksi dan pajak pedagang yang datang dari luar ke dalam negara Islam.[8]

Usyur

Sistem keuangan dengan model usyur ini diterapkan di zaman Umar bin Khatab. Yakni para pedagang kaum muslimin yang pergi ke negara kafir (darul harb), mereka harus membayar Usyr (1/10) dari barang dagangan mereka. Maka Umar memerintahkan kaum muslimin mengambil pajak 1/10 kepda pedagang non muslim ketika mereka masuk ke negeri Islam. Dan memerintahkan mengambil setengah dari sepersepuluh kepada ahli dzimmah dan kepada kaum muslimin hanya seperempat dari usyr jika barang dagangan mereka hanya 200 dirham saja. [9]

Penutup

Demikian paparan singkat dari sumber keuangan yang diambil dari zaman klasik yang memiliki kekuatan finansial untuk kemaslahatan kaum muslimin dan juga non muslim baik berupa ghanimah, fai’, kharaj, Shadaqah, A’syar (1/10), dan Jizyah dan sejenisnya yang dikelola oleh baitul mal.

[1] Lihat Qs.9:60, 23:4
[2] Abdul Mun’im Majid, Târikh al-Hadhârah al-Islâmiyyah fi al- Ushuri al-Wustha, (Cairo: Maktabah Misriyah,1978) hal 38.
[3] Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 2, (Jakarta:Gema Insani Press,2001), h 44.
[4] Ibid, hal 46-47
[5] Lebih lanjut bisa juga dilihat Qs.Al-Hasyr: 2-4,11-17, tentang pengusiran yahudi.
[6] Jurjy Zaidan, Tarikh Tamadun al-Islami, Juz 1, t.p,t.t, hal 221-230.
[7] Lebih lanjut lihat Kitab al-Kharaj Abu Yusuf, hal 69-72
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Târikh al-Islam, Juz 4, (Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah), hal 346.
[9] Ibid, hal 354.

Selengkapnya......

Senin, 01 Juni 2009

Tuntutan Penerapan Hukum Islam (Syariah)

Pendahuluan

Sesungguhnya isu penerapan syariah merupakan tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin era modern ini. Sebaliknya musuh Islam berusaha sekuat tenaga menjauhkan kaum muslim dari penerapan syariah Islam. Ideologi-ideologi besar di dunia dari komunis, kapitalis sampai liberalis telah ditancapkan di seantero dunia ini tapi belum berhasil. Kini, ideologi dan tuntutan syariah Islam menjadi suatu keniscayaan.

Karenanya tidak ada Islam tanpa syariah, dan seorang muslim boleh saja berdusta kepada dirinya, sebaliknya seorang muslim yang hatinya tenang dan yakin dengan syariah pastilah akan mendambakan penerapan syariah dan tidak membiarkan kemudharatan menjadi lebih besar daripada kemaslahatan. Bahkan ulama Mesir Abdul Qadir Audah menyatakan, “Sungguh aneh orang muslim yang beriman kepada Allah Swt tapi dia tidak mau melaksanakan syariat. Dengan kata lain, dia mau beriman kepada Allah Swt tapi tidak mau melaksanakan jinayah”.

Oleh karenanya syariah Islam merupakan jalan satu-satunya untuk mengembalikan kaum muslim kepada kekuatan dan ‘izzah. Tanpa syariah tidak ada harapan lagi mengeluarkan realitas kaum muslimin dari kebodohan, kerusakan, korupsi, perpecahan dan keterbelakangan.

Definisi Syariah

Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah yang diperintahkan kepada hamba-hamba-Nya.antara lain, ketetapan perintah puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan lainnya.

Kata syariat berasal dari kata شرع الشيئ yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain.

Syariat dalam istilah syar’i yaitu hukum-hukum Allah Swt yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi bahwa syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas.
Dengan demikian syariat Islam dapat dikatakan apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Tujuan Syariat (Maqâshid al-Syariah)

Pembicaraan tentang tujuan hukum dalam Islam atau maqâshid al-Syariah merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak lepas dari perhatian ulama dan pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri dan diperluas dalam “Filsafat Hukum Islam”.
Semua perintah dan larangan Allah Swt dalam Al-Qur’an begitu pula perintah dan larangan Nabi Saw yang terumuskan dalam fikih akan terlihat semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki hikmah yang mendalam yaitu sebagai rahmat bagi semua manusia dan kemaslahatan bagi mereka . Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an secara pasti. (Qs.44: 38-39, Qs.3:205).

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (Qs. 44:38-39)

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Qs.3:205)

Karena itu, Allah Swt dalam menetapkan dan menciptakan hukum memiliki tujuan (maqâshid al-syariah) untuk memperoleh kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi tegasnya, bahwa maqâshid al-Syariah merupakan tujuan utama Allah Swt dalam menetapkan hukum demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.

Tujuan syariat sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut yang hendak dicapai melalui taklîf, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadits.

Dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.1 Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur itu dengan baik.

Para ahli ushul menyebutkan bahwa terdapat lima pokok perkara dalam mewujudkan maqâshid syariah. Penekanan peringkat lima pokok perkara yang penting ini adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pembatasan maqâshid syariah ini yang demikian disampaikan oleh al-Ghazâliy (w. 505 H), al-Râziy (w. 606 H) dan al-Amidiy (w. 627 H). kelima pokok perkara tersebut dikenal dengan sebutan al-kulliyât al-khams atau al-dharuriyât al-khams.

Tujuan hukum Islam ini harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan suatu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syariah) menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum disini adalah hukum yang menyangkut bidang muamalah.

Dalil Al-Qur’an yang mengharuskan berhukum Syariah

Sesungguhnya agama (al-dîn) berangkat dari apa yang dibawa dari Allah Swt berupa perintah dan larangan dan apa yang ditetapkan oleh sunnah Nabi Saw dan karenanya kita diperintahkan untuk mengikuti dan mentaatinya. Agama mencakup aqidah, ibadah, muamalat dan segala bentuk hukum serta yang demikian ini disebut sebagai tasyri’. Tuntutan Allah Swt dalam Al-Qur’an memrintahkan berhukum syariah cukup banyak dan menutut untuk mengamalkannya.
Dalam hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain, Qs.3:83, 4:58-60, 5:44-45,47, 60, 16:90.

“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. Qs.3:83.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”…Qs.4:58.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Qs.4:59.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut,, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Qs.4: 60..

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Qs.5:44

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. Qs.5:45

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.Qs.5:47

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. Qs.5:60.

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat..”. Qs.16:90

Karakteristik Syariah Islam

Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan enam karakteristik Syariah Islam: Rabbâniyah, Insâniyyah, al-Syumûl, Akhlâqiyyah, Tanâsuq, Wâqi’iyyah.

Pertama, Rabbâniyah, Kekhasan syariat Islam dibanding dengan konstitusi lain bersifat rabbâniyah dan religius. Pencipta syariat ini bukanlah manusia yang memiliki kekurangan dan kelemahan serta pengaruh oleh faktor situasi, kondisi dan tempat dimana ia berada.
Oleh karenanya syariat ini bersifat robbâniy, maka tidak ada alasan seorang muslim untuk menolaknya baik sebagai subyek hukum maupun sebagai objek hukum. Jiwa seorang muslim yakin bahwa hukum-hukum syariatlah yang paling adil dan sempurna dan selaras dengan kebaikan serta dapat mencegah segala kerusakan.

Kedua, Insâniyah (Humanistis), Syariat diciptakan untuk manusia agar manusia derajatnya terangkat, sifat manusianya terjaga dan terpelihara. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan berbagai bentuk ibadah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, bukan hanya makhluk jasmani dipuaskan dengan makan, minum dan menikah.
Disamping memperhatikan sisi rohani, syariat juga tidak melupakan sisi fisik dan dorongan nurani. Oleh karena itu, syariat mendorong manusia untuk berjalan ke seluruh penjuru bumi mencari karunia Allah dan memakmurkan planet ini. Syariat Islam diciptakan untuk manusia dengan syariat insaniyah, sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, tanah air dan status.

Ketiga, Syumûl (komperehensip), Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik aspek ibadah, aspek keluarga, aspek perdagangan dan ekonomi, aspek hukum dan peradilan, aspek politik dan hubungan antar negara. Syariat mengatur baik urusan dengan Allah seperti shalat, puasa dan lainnya maupun yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan muamalah.
Keempat, Akhlâqiyah (Etis), Syariat Islam memperhatikan sisi akhlak dalam seluruh aspeknya dengan makna yang terkandung dari hadits Nabi, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Untuk itu tujuan syariat untuk menegakan tatanan sosial dan mewujudkan keteladanan dalam kehidupan manusia, menaikan derajat manusia serta memelihara nilai-nilai ruhani dan etika.
Kelima, Wâqi’iyah (Realistis), Syariat Islam bersifat realistis. Perhatiannya terhadap moral tidak menghalangi syariat untuk memperhatikan realitas yang terjadi dan menetapkan syariat yang menyelesaikan masalah.

Sifat realistis ini diantaranya dapat mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik yang disebabkan oleh kehancuran zaman, perkembangan masyarakat maupun kondisi-kondisi darurat. Para ahli fiqih terkadang mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kebiasaan dan kondisi.

Keenam, Tanâsuq (Keterarturan), Keteraturan adalah bekerjanya semua individu dengan teratur dan saling bersinergi unruk mencapai tujuan bersama, tidak saling benci, tidak saling sikut, dan tidak saling menghancurkan. Karakter seperti ini disebut dengan takâmul (saling menyempurnakan). Keteraturan nampak pada alam dan syariat seperti sebuah keseimbangan. Artinya nampak keteraturan pada syariat Allah seperti apa yang kita dapat dari ciptaan-Nya.
Oleh karenanya, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dan relevan setiap zaman dan tempat. Jika demikian syariat Islam relevan dalam masa kini baik di negeri arab maupun selainnya. Syariat Islam mencakup segala aspek kehidupn manusia baik sosial, politik, ekonomi maupun pemikiran.

Islam juga mencakup di dalamnya hak-hak dan kewajiban baik hak khusus maupun umum. Dalam hak khusus, diantaranya:
1. Syariat menjelaskan tentang hak-hak keluarga dan memberikan hak dan kewajiban bagi suami istri. Untuk suami diberikan sebagai kepala rumah tangga dan hak kepemimpinan (Qs. 4:34).
2. Syariat menjelaskan tentang hak-hak sosial dan muamalah. (Qs.4:29). Dengan syarat segala kegiatan ekonomi dan sosial bertentangan dengan syariat serta tidak memberikan kemudharatan satu sama lain.
3. Syariat menjelaskan tentang hukum jinayat dan menganggap hal tersebut adalah jarimah dan berhak sanksi dan hukuman bagi pelakunya.

Dalam hal hak yang bersifat umum dengan tiga prinsip, yakni:
1. Syariat menetapkan prinsip kebebasan dengan bingkai syariat yang tidak mengakibatkan cacat dan perilaku amoral atau kelebihan batas.
2. Syariat menetapkan prinsip persamaan. Karenanya, manusia adalah sama dalam setiap haknya, tidak ada perbedaan satu sama lain. Ukurannya adalah dengan ketaqwaan. (Qs.49:13).
3. Syariat menetapkan prinsip syuro atau musyawarah. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bagi manusia.

Jadi tidak ada penerapan dalam sebuah negara kecuali dengan syariat Islam walaupun kondisi dan situasi sudah berubah. Karena itu pintu ijtihad masih terbuka.

Gerakan dan Tuntutan Syariah Islam

Pada hakikatnya hukum-hukum syar’i sudah sangat jelas dan terang baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits. Begitu pula terkodifikasi dalam buku-buku fiqh dalam bab maupun sub bab. Karenanya, dengan mudah sekali bagi yang hendak mendapatkan hukum-hukum syar’i. Tetapi sebagian orang bersikukuh untuk mengkodifikasikannya lebih lanjuta dalam undang-undang (taqnîn).

Tuntutan penerapan hukum Islam ini ini menjadi topik hangat di belahan dunia Islam. Gerakan tuntutan ini dimulai dengan gerakan tanzimât di Turki melalui majalah al-ahkâm al-‘adliyah. Yaitu gerakan regulasi dan reformasi politik dengan tujuan membangun kesultanan Turki Utsmani menuju negara modern pada tahun 1839.

Gerakan pembaharuan Islam juga muncul di Jazirah Arab yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w.1792 M) pada abad 17 di Saudi, Gerakan dakwah Sanusi di Libya (w.1859 M). Kemudian gerakan penerapan hukum syariat di Selatan Mesir oleh Muhammad Ahmad Al-Mahsi (w.1885 M) dan dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897 M) dan Abdul Rahman Al-Kawakibi (w.1802 M) kemudian gerakan pembaharuan dan penyelamatan oleh murid Al-Afghani yaitu Muhammad Abduh (w.1905 M).

Kemudian muncullah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bernama Hasan Al-Banna pada tahun 1929. Gerakan dakwah Ikhwan ini menyebar ke penjuru dunia arab dan belahan dunia Islam lainnya. Perkembangan gerakan dakwah ini yang paling besar dalam abad 20 ini dan tercatat gerakannya lebih dari 70 negara di dunia Islam. Gerakan yang bertujuan kembali kepada ajaran Islam dengan memadukan konsep tarbiyah (pendidikan) dan jihad.

Dalam perjalanan dakwah IM dengan agenda menuntut syariah Islam di Mesir banyak diantara tokoh-tokohnya mati syahid di tangan pemerintah waktu itu, antara lain, Hasan Al-Banna, Abdul Qadir Audah, Yusuf Thala’at dan Sayyid Qutb. Adalah Sayyid Qutb dan Abdul Qadir Audah menjadi rujukan dan tokoh penting bagi gerakan Hasan Al-Banna selanjutnya.

Gerakan lainnya muncul di India yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi tahun 1941 dengan tujuan mengembalikan dakwah kepada Allah dengan menjadikan manusia beribadah hanya kepada Allah dan menerima hukum (al-hâkimiyyah) hanya dari Allah Swt serta menolak segala bentuk jahiliyah. Begitu pula gerakan yang terjadi di Al-Jazair yang dipimpin oleh Abdul Hamid Badis dengan mendirikan organisasi ulama Al-Jazair. Gerakan dakwah ini melalui masjid, sekolah dan surat kabar. Gerakan–gerakan ini terilhami dari gerakan IM di Mesir yang dibawa oleh Hasan Al-Banna yang menuntut penerapan syariah Islam di bumi Mesir.

IM dalam perjuangannya menuntut penerapan syariat Islam dari awal berdirinya. Suatu kali Hasan Al-Banna menulis dalam surat kabar Ikhwan seputar kewajiban penerapan syariat dan keistimewannya serta perbandingan antara syariat dan undang-undang buatan manusia. Al-Banna menulis kepada ulang tahun negara yang ke 50 dengan mengingatkan pemerintah waktu itu bahwa konstitusi negara menyebutkan agama negara adalah Islam. Oleh karenanya wajib bagi pemerintah mengimpelementasikan syariat Islam.

Di Mesir berdiri pula Jamaah Jihad dan Jamaah Islamiyah, keduanya menggunakan kekuatan dengan mengadakan perlawanan bagi pemerintah yang tidak berhukum dengan syariat. Pemikiran mereka bercampur dengan jamaah takfir wa al-hijrah yang melakukan pengkafiran kepada tiap orang. Sekalipun demikian, jamaah takfir dan jihad ini sebenarnya berbeda dalam dasar perjuangannya dengan IM. Inilah yang menjadi perbedaan antara IM dan jamaah jihad ini, bahwa IM tidak mentolerir kekerasan sedikitpun.

Gerakan lainnya juga dilakukan di Turki dengan semangat mengembalikan khilafah dari rezim sekuler Mustafa Kamal. Gerakan ini dipelopori oleh Al-Nursi. Gerakan tuntutan syariah lainnya di Maroko yang dipimpin oleh Abdul Salam Yasin dengan gerakan keadilan dan ihsan (al-‘adlu wa al-ihsân). Selanjutnya di Maroko ini dilanjutnya dengan gerakan pembaharuan dan reformasi oleh Ahmad Raisuni. Begitu pula terjadi revolusi kebangkitan Islam di Iran dengan gerakan yang dihimpun Khomeni yang menggulingkan presiden Shah waktu itu.

Begitu banyak gerakan tuntutan syariah di dunia Islam sampai semangatnya ke bumi nusantara. Gerakan ini di Indonesia yang dipelopori oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Nasir.

Harapan dan tuntutan penerapan syariah begitu marak di dunia Islam dan bahkan di bumi nusantara Indonesia, terlebih lagi dilakukan dengan tanpa kekerasan. Dari gerakan dakwah dan tuntuntan syariah Islam tadi sudah seharusnya menjadi pelajaran besar bagi kaum muslimin.
Tuntutan penerapan syariah menggelora dalam dunia Islam tidak hanya sebatas retorika namun penerapan dilakukan dalam berbagai dimensi baik politik, sosial, wawasan, peradilan dan akhlak. Untuk itu menjadi jelas bagi kita bahwa ajaran Islam tidak dipandang dengan sebelah mata, melainkan dapat dilihat secara komprehensif.

Penerapan syariat Islam tidak difahami dari sanksi pidana dan hukuman saja seperti potong tangan, rajam dan qishâs. Namun lebih dari itu, seperti pendidikan, perlindungan bagi masyarakat, prinsip musyawarah, ketaatan yang tidak absolut (tidak taat kepada orang yang bermaksiat kepada Allah), menolak kediktatoran dengan cara apapun, prinsip persaman dam keadilan di hukum dan lain sebagainya.

Perjalanan gerakan dakwah Islam selama ini tidak dilalui dengan mudah. Seringkali berbagai rintangan dihadapi baik intimidasi, teror, kezaliman, penjajahan, baik dari musuh Islam maupun dari penguasa yang terus mematikan penerapan syariat di belahan dunia Islam. Karena itu, gerakan-gerakan Islam diatas perlu dilanjutkan dengan bersatunya semua gerakan dakwah itu dalam satu wadah dalam gerakan internasional dan mengembalikan kembali batu asasi Islam yang sudah hilang.

Upaya Penerapan Hukum Syariah (Islam) di Indonesia

Tak dipungkiri bahwa formalisasi syariat Islam merupakan isu yang mengalami pasang surut dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Syariat dan hukum Islam memang tampaknya telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Pasalnya, hukum Islam telah diberlakukan sejak Islam tiba di Indonesia (ada yang mengatakan abad ke 1 H dan abad ke 7 H) dan terutama dalam kerajaan-kerajaan setelah kedatangan Islam. Praktis semua kerajaaan Islam di zaman Hindia Belanda hukum Islam itu ditegakkan.

Semenjak Islam masuk wilayah nusantara, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat Islam di daerah kekuasaannya masing-masing. Begitu pula setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, keinginan untuk memberlakukan syariat Islam tidak pernah surut dan padam. Upaya untuk memasukkan Piagam Jakarta berbuntut kepada pembubaran Majelis Konstituante melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah dua kutub yang berbeda tidak berhasil mencapai kesepakatan. Polemik antara kalangan Islam dan kalangan kebangsaan tentang hubungan Islam dan negara menghangat khususnya antara Soekarno dan M. Natsir. Yang pertama mencontohkan Turki yang sekuler dan yang melepaskan diri dari Islam dalam kehidupan bernegara, yang kedua agar Indonesia yang didambakan itu tidak lepas dari Islam.

Diskursus politik Islam di Indonesia modern ini tidak luput dari situasi yang tidak menguntungkan. Sejak tahun-tahun pertama munculnya pergerakan nasional dimana elit politik terlibat dalam perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai dengan Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Pada gilirannya, diskursus idiologis ini menyebabkan berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara terutama sepanjang dua dasarwarsa pertama periode orde baru.

Namun, pada era reformasi pasca orde baru, beberapa ketentuan syariat Islam mulai diakomodasi negara secara selektif. Dan, mencuat kembali ketika ST (Sidang Tahunan) MPR yang mengagendakan amandemen UUD 1945 dan terus mengemuka hingga pelaksanaan ST MPR tahun 2002. Perjuangan syariat Islam yang menjadi tuntutan partai-partai politik Islam menemukan jatidirinya dengan adanya momentum melalui sidang BP (Badan Pekerja) maupun ST (Sidang Tahunan) MPR yang dimulai antara tahun 1999 dan 2002. PPP dan PBB misalnya, fraksi Islam ini menjadi penggerak perlunya formalisasi syariat Islam yaitu dengan mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta. Pasalnya, dengan ketentuan formalisasi ini maka ketentuan syariah Islam secara keseluruhan dapat dijalankan.

Pada era reformasi pasca runtuhnya rezim orde baru, wacana penegakkan syariat dan hukum Islam dalam kehidupan bernegara kembali disuarakan dan bahkan lebih lantang dan berani. Karena masa reformasi selalu mengklaim dirinya lebih demokratis dalam melaksanakan sistem pemerintahan. Salah satu imbasnya, potensi dan keinginan umat dapat kembali disuarakan. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai partai politik Islam dan organisasi Islam yang menyuarakan kembali pentingnya penegakan syariat Islam untuk mengatur semua aspek dalam kehidupan umat Islam. Pada masa itu, reformasi politik Islam menunjukkan kekuatannya sebagai daya tekan untuk memasukkan format politik yang dipersepsikan sejalan dengan aspirasi umat Islam dalam wilayah kenegaraan. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa partai Islam yang memiliki platform untuk menjadikan hukum Islam berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Partai politik Islam yang ditampilkan saat itu antara lain adalah PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PK (Partai Keadilan) yang memperesentasikan salah satu bagian dari gerakan politik Islam di era reformasi.2

Setelah era reformasi muncul, tuntutan untuk memasukan kembali tujuh kata dalam piagam dalam pasal 29 UUD 1945 yang diusulkan oleh dua partai Islam PPP dan PBB dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu di luar PKS.3 Tetapi usul ini akhirnya ditolak dan kembali ke pasal semula. Sejatinya, partai-partai politik Islam itu terus berupaya melakukan perjuangan penegakkan syariat baik melalui konstitusi maupun substansi demi mencapai tujuan politiknya.
Penegakan syariah dilakukan dengan tuntutan kehidupan bernegara, dengan kata lain dicerminkan dalam hukum positif. Hingga kini hukum Islam sebagai hukum positif tercermin dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, UU No.7/1989 tentang peradilan agama, kemudian diganti dengan UU No.3/2006, Peraturan pemerintah No.7/1992 tentang bank berdasarkan syariah, UU No.17/1999 tentang penyelenggaraan haji, UU. No.23/1999 tentang Bank Indonesia memberikan mandat pembentukan bank atau cabang bank syariah pemerintah, UU. No.38/1999 tentang pengelolaan zakat, UU No.44/1999 tentang pelaksanaan syariah Islam di Propinsi NAD dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat tuntutan agar dalam paket Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan dibentuk Mahkamah Syari’yah.

Gelora penerapan syariah juga dilakukan dengan regulasi-regulasi melalui peraturan-peraturan daerah. misalnya Perda Pelacuran di Kota Tangerang. Lalu muncul kabar tentang Raperda Anti-Maksiat di Kota Depok. Tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta juga menyiapkan Raperda Anti-Maksiat untuk DKI Jakarta dan di Sulawesi Selatan, DPRD mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan Al-Quran, 18 April 2006. Sebelum itu, Bupati Bulukumba untuk dua periode (1995-2005) menggolkan empat perda berspirit syariat Islam. Perda Minuman Keras; Zakat, Infak, dan Sedekah; Baca-Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin; serta Pakaian Muslim/Muslimah. Keempatnya lahir pada 2003. Kabupaten ini pun populer sebagai pionir penerapan syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Eksperimen syariah di Bulukumba bahkan menembus pemerintahan terendah: desa. Sebanyak 12 desa dijadikan areal percontohan penerapan syariat Islam sejak awal 2005. Sedemikian kondangnya nama Bulukumba di mata pendukung syariah, sampai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan III, Maret 2005, pun digelar di sana. Kongres ini kental warna syariahnya. Ada rekomendasi agar umat Islam memilih kepala daerah yang punya komitmen pada syariat Islam. Implementasi syariat Islam di desa-desa pilot project itu kian pesat. Malah melampaui perda kabupaten dan provinsi. Karena desa itu berani menerapkan pidana hudûd. Desa Padang, Kecamatan Gantarang, misalnya, menetapkan "peraturan desa". Isinya, aturan tentang delik perzinaan (cambuk 100 kali), qadzaf alias menuduh zina (cambuk 80 kali atau dilimpahkan ke polisi), minuman keras (cambuk 40 kali), dan pidana qishâsh (balasan setimpal) bagi tindak penganiayaan.

Kabupaten di Sulawesi Selatan selain Bulukumba juga tak mau ketinggalan. Pangkep, Gowa, dan Wajo seolah berlomba membuat perda syariah. Tapi dinamika ini bukan khas Sulawesi Selatan, yang pada 2002 pernah menuntut otonomi khusus penerapan syariat Islam. Suara serupa berkembang di Provinsi Banten dan Riau. Juga beberapa kabupaten/kota, semisal, Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu. Gelora bersyariat-ria di berbagai daerah ini sudah bergulir lima tahunan terakhir.

Perkembangan ini seperti mengamini survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tentang tingginya dukungan orang pada tawaran penerapan syariat Islam. Dari 2001 hingga 2004, trennya naik. Dukungannya hingga di atas 70%.

Semangat penegakan syariah Islam lainnya dilakukan oleh non negara seperti yang dilakukan oleh Majelis Mujahidin dengan resolusi piagam yogyakarta dengan menyatakan pembulatan tekad untuk menegakan syariah Islam di persada tanah air Indonesia. Mereka menyusun draft revisi KUHP berdasarkan syariat. Ada Komite Persiapan Syariat Islam Banten, Gerakan Penegak Syariat Islam Yogyakarta, Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam Garut, Badan Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam Sukabumi, Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam Pamekasan di Madura, dan Komite Penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetap setia dengan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Besarnya dukungan pada syariat Islam tampaknya tidak berbanding lurus dengan sokongan pada negara Islam. Indonesia saat ini baru marak sebagai "Negeri Syariah", bukan "Negara Syariah". Begitu juga Kongres Umat Islam ke-IV di Jakarta tahun 2005 menyetujui tuntutan penerapan syariah.

Hambatan-hambatan dalam penerapan syariah

Manna’ Qattan dalam bukunya Mu’awwiqât Tathbîq al-Syari’ah al-Islâmiyyah menyebutkan bahwa ada empat hambatan penerapan syariah.
Pertama, Jahil terhadap agama (الأميّة الدينيّة). Kedua, Terlaksananya sekularisasi dalam seluruh kehidupan (نفوذ العلمانية في نواحي الحياة) . Ketiga, Berhukum dengan akal atas nama maslahat (تحكيم العقل باسم المصلحة) . Keempat, Perselisihan antara aktivis Islam dalam dakwah Islam (الاختلاف بين العاملين في الحقل الإسلامي).

Penulis sepakat dengan al-Qattan mengenai hambatan penerapan Syariah di atas. Jika saja hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia sifatnya kumulatif maka masih cukup jauh penerapan syariah di bumi pertiwi nusantara. Namun mencermati sejarah bangsa ini dengan apa yang sudah dilakukan dan diperjuangkan mengenai penegakkan syariah Islam baik secara fomalistik maupun substantif selama ini baik melalui negara, partai politik maupun ormas dan umat Islam. kiranya gelora dan geliat penegakkan syariat dapat dibarengi dengan semangat para aktivis dan masyarakatnya.

Kesimpulan

Telah dipaparkan diatas bahwa penerapan syariat Islam sebuah keniscayaan. Syariat Islam dengan apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Dari sini kita dapat kita katakan bahwa syariat Islam relevan dalam setiap masa dan waktu serta sangat mungkin diterapkan pada masa modern ini setidak-tidaknya dengan syarat-syarat berikut ini:
1. Kembali kepada ajaran Islam keseluruhan dan tentunya pintu ijtihad masih terbuka.
2. Bebas dari tekanan realitas baik dari hal yang berlawanan dengan syariat.
3. Bebas dari cengkraman dan pemikiran barat.
4. Pentingnya keberadaan pemimpin yang komitmen terhadap Islam.

Tuntutan penerapan Islam dalam negeri ini maupun dunia Islam yang dilakukan selama ini melalui legal formalistik dan substantif baik dengan undang-undang dan semangat lainnya dengan tetap dilandasi dengan maqâshid al-Syariah baik yang berkaitan dengan politik, hukum, sosial dan lain sebagainya. Selain itu, perlu penyadaran nasional akan pentingnya bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah Swt kembali kepada fitrah dan jati dirinya, yakni kembali kepada syariat.

Kekhawatiran sebagian orang dengan isu kembali kepada syariat akan terjadi disintegrasi dan perpecahan bangsa tidak teruji, isu ini hanya isapan jempol dan sebatas retorika. Walhasil, syariah benar-benar dapat memberikan manfaat yang berarti bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Sebut saja misalnya, bank-bank yang menggunakan basis syariah di Indonesia sekarang ini cukup survive dan berhasil keluar dari krisis baik krisis financial maupun krisis ekonomi global. Bahkan perkembangannya cukup menggembirakan.
Syariat Islam dalam bidang ekonomi ini dapat dikatakan menjadi kekuatan baru dari krisis ekonomi. Kini, kita menunggu syariat dalam bidang-bidang lainnya baik bidang hukum, politik, sosial dan lain sebagainya. Semoga saja kita benar-benar keluar dari multi krisis dan carut marut bangsa ini dengan Indonesia bersyariat. Wallahu a’lam. (dimuat dalam Jurnal el-Hikmah STIDDI Al-Hikmah, edisi 2/Mei 2009)

Catatan Kaki

1. Pengembangan maslahah dewasa ini dilakukan oleh ulama kontemporer dengan tetap melandasi lima pokok dasar yang dirumuskan ulama klasik. Misalnya, Yusuf al-Qaradhawi, Ahmad al-Raisuni dan Ismail al-Husni. Mereka menambahkan unsur lain selain lima pokok dasar di atas, yakni keadilan (al’adl), persamaan (al-Musâwâh), kebebasan (al-Hurriyah), hak-hak Sosial (al-Huqûq al-Ijtimâiyyah) hak-hak ekonomi (al-Huqûq al-Iqtishâdiyyah) dan hak-hak politik (al-Huqûq al-Siyâsiyah). Selanjutnya lihat Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hal 139-172.
2. Partai Politik yang berasaskan Islam saat itu berjumlah sembilan, yakni Partai KAMI, PUI, Partai Masyumi Baru, PPP, PSII, PSII 1905, Masyumi, PBB dan PK. Namun dalam pemilu berikutnya berhasil lolos ET (Electoral Treshold) adalah PPP dan PBB, adapun PK bermetamorfosa menjadi PKS dalam Pemilu 2004. Selain PKS, partai berasaskan Islam lainnya yaitu PPNU dan PBR. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_Indonesia#Pemilu_2004.
3. Dalam berdakwah menegakkan syariah dan hukum Islam di Indonesia, PKS tidak mengikuti pola pemikiran partai-partai politik Islam lain yang bersikeras memunculkan kembali Piagam Jakarta sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebab, PKS memandang pembahasan tentang hal-hal yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan konstitusi bukan menjadi agenda pokok umat karena konsolidasi kekuatan umat jauh lebih penting dibandingkan melemparkan isu yang tidak didukung oleh kekuatan signifikan di MPR dan justru akan membuat kontroversi. PKS saat itu lebih mengutamakan substansi dari perjuangan penegakkan syariat Islam daripada persoalan redaksional. Tetapi lebih itu, yaitu bagaimana negara dan masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam. Selanjutnya lihat, Untung Wahono, Menjawab Tuduhan terhadap PKS, (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h 10 dan Mutammimul Ula, “Persoalannya bukan teks agama an sich”, (Suara Keadilan, 08 Januari 2000).


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyyah, tt.
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li dirâsah al-Syari’ah al-Islâmiyah, Amman: Maktabah Al-Basyair, 1990.
Ahmad al-Raisûni, Nazhariah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi, Riyâdh: al-Ma’had al-âlami li al-Fikri al-Islâmiy, 1995).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos, 2005.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_Indonesia#Pemilu_2004.
Jaridah al-Ikhwan, tahun ke 4, edisi 11, tahun 1936.
Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.
John L.Espito, ed, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.
Majalah Gatra, Laporan Utama, Edisi ke-25, Mei 2006.
Manna’ Al-Qattan, Târikh al-Tasyri’ al-Islâmiy, Beirut: Muassasah Risalah, 1993.
Manna’ Khalil Al-Qattan, Wujûb Tahkîm al-Syari’ah al-Islâmiyyah, Cairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, t.t.
Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan, 2005.
Muhammad Ansor, Asas Islam dan Artikulasi Partai Politik Islam, Jakarta: Tesis UIN Jakarta.
Muhammad Syuwa’ir, Tathbîqu al-Syari’ah Tharîqu al-Amni wa al-Izzah, Cairo: Dar al-Shahwah, 1987.
M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001.
Mutammimul Ula, “Persoalannya bukan teks agama an sich”, Suara Keadilan, 08 Januari 2000.
Nadirsyah Hosen, Sharia and Constitutional Reform in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2007.
Untung Wahono, Menjawab Tuduhan terhadap PKS, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Yusuf al-Qaradhawi, Al-Khasâisu al-Amah Li al-Islâm, Cairo: Maktabah Wahbah,1989.
______________, Ummatunâ baina Qarnain, Cairo: Dar al-Syuruq, 2000.
______________, Syariat al-Islâm, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1987.
______________, Membumikan Syariat Islam, Bandung: Arasy Mizan, Cet 1, 2003.

Selengkapnya......