Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Senin, 01 Juni 2009

Tuntutan Penerapan Hukum Islam (Syariah)

Pendahuluan

Sesungguhnya isu penerapan syariah merupakan tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin era modern ini. Sebaliknya musuh Islam berusaha sekuat tenaga menjauhkan kaum muslim dari penerapan syariah Islam. Ideologi-ideologi besar di dunia dari komunis, kapitalis sampai liberalis telah ditancapkan di seantero dunia ini tapi belum berhasil. Kini, ideologi dan tuntutan syariah Islam menjadi suatu keniscayaan.

Karenanya tidak ada Islam tanpa syariah, dan seorang muslim boleh saja berdusta kepada dirinya, sebaliknya seorang muslim yang hatinya tenang dan yakin dengan syariah pastilah akan mendambakan penerapan syariah dan tidak membiarkan kemudharatan menjadi lebih besar daripada kemaslahatan. Bahkan ulama Mesir Abdul Qadir Audah menyatakan, “Sungguh aneh orang muslim yang beriman kepada Allah Swt tapi dia tidak mau melaksanakan syariat. Dengan kata lain, dia mau beriman kepada Allah Swt tapi tidak mau melaksanakan jinayah”.

Oleh karenanya syariah Islam merupakan jalan satu-satunya untuk mengembalikan kaum muslim kepada kekuatan dan ‘izzah. Tanpa syariah tidak ada harapan lagi mengeluarkan realitas kaum muslimin dari kebodohan, kerusakan, korupsi, perpecahan dan keterbelakangan.

Definisi Syariah

Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah yang diperintahkan kepada hamba-hamba-Nya.antara lain, ketetapan perintah puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan lainnya.

Kata syariat berasal dari kata شرع الشيئ yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain.

Syariat dalam istilah syar’i yaitu hukum-hukum Allah Swt yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan. Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi bahwa syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan keduanya seperti ijma’ dan qiyas.
Dengan demikian syariat Islam dapat dikatakan apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Tujuan Syariat (Maqâshid al-Syariah)

Pembicaraan tentang tujuan hukum dalam Islam atau maqâshid al-Syariah merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak lepas dari perhatian ulama dan pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri dan diperluas dalam “Filsafat Hukum Islam”.
Semua perintah dan larangan Allah Swt dalam Al-Qur’an begitu pula perintah dan larangan Nabi Saw yang terumuskan dalam fikih akan terlihat semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki hikmah yang mendalam yaitu sebagai rahmat bagi semua manusia dan kemaslahatan bagi mereka . Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an secara pasti. (Qs.44: 38-39, Qs.3:205).

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (Qs. 44:38-39)

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Qs.3:205)

Karena itu, Allah Swt dalam menetapkan dan menciptakan hukum memiliki tujuan (maqâshid al-syariah) untuk memperoleh kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi tegasnya, bahwa maqâshid al-Syariah merupakan tujuan utama Allah Swt dalam menetapkan hukum demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.

Tujuan syariat sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut yang hendak dicapai melalui taklîf, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadits.

Dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.1 Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur itu dengan baik.

Para ahli ushul menyebutkan bahwa terdapat lima pokok perkara dalam mewujudkan maqâshid syariah. Penekanan peringkat lima pokok perkara yang penting ini adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pembatasan maqâshid syariah ini yang demikian disampaikan oleh al-Ghazâliy (w. 505 H), al-Râziy (w. 606 H) dan al-Amidiy (w. 627 H). kelima pokok perkara tersebut dikenal dengan sebutan al-kulliyât al-khams atau al-dharuriyât al-khams.

Tujuan hukum Islam ini harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan suatu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak diterapkan. Dengan demikian pengetahuan tentang tujuan hukum Islam (maqâshid al-Syariah) menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum disini adalah hukum yang menyangkut bidang muamalah.

Dalil Al-Qur’an yang mengharuskan berhukum Syariah

Sesungguhnya agama (al-dîn) berangkat dari apa yang dibawa dari Allah Swt berupa perintah dan larangan dan apa yang ditetapkan oleh sunnah Nabi Saw dan karenanya kita diperintahkan untuk mengikuti dan mentaatinya. Agama mencakup aqidah, ibadah, muamalat dan segala bentuk hukum serta yang demikian ini disebut sebagai tasyri’. Tuntutan Allah Swt dalam Al-Qur’an memrintahkan berhukum syariah cukup banyak dan menutut untuk mengamalkannya.
Dalam hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain, Qs.3:83, 4:58-60, 5:44-45,47, 60, 16:90.

“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. Qs.3:83.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”…Qs.4:58.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Qs.4:59.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut,, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Qs.4: 60..

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Qs.5:44

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. Qs.5:45

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.Qs.5:47

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. Qs.5:60.

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat..”. Qs.16:90

Karakteristik Syariah Islam

Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan enam karakteristik Syariah Islam: Rabbâniyah, Insâniyyah, al-Syumûl, Akhlâqiyyah, Tanâsuq, Wâqi’iyyah.

Pertama, Rabbâniyah, Kekhasan syariat Islam dibanding dengan konstitusi lain bersifat rabbâniyah dan religius. Pencipta syariat ini bukanlah manusia yang memiliki kekurangan dan kelemahan serta pengaruh oleh faktor situasi, kondisi dan tempat dimana ia berada.
Oleh karenanya syariat ini bersifat robbâniy, maka tidak ada alasan seorang muslim untuk menolaknya baik sebagai subyek hukum maupun sebagai objek hukum. Jiwa seorang muslim yakin bahwa hukum-hukum syariatlah yang paling adil dan sempurna dan selaras dengan kebaikan serta dapat mencegah segala kerusakan.

Kedua, Insâniyah (Humanistis), Syariat diciptakan untuk manusia agar manusia derajatnya terangkat, sifat manusianya terjaga dan terpelihara. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan berbagai bentuk ibadah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, bukan hanya makhluk jasmani dipuaskan dengan makan, minum dan menikah.
Disamping memperhatikan sisi rohani, syariat juga tidak melupakan sisi fisik dan dorongan nurani. Oleh karena itu, syariat mendorong manusia untuk berjalan ke seluruh penjuru bumi mencari karunia Allah dan memakmurkan planet ini. Syariat Islam diciptakan untuk manusia dengan syariat insaniyah, sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, tanah air dan status.

Ketiga, Syumûl (komperehensip), Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik aspek ibadah, aspek keluarga, aspek perdagangan dan ekonomi, aspek hukum dan peradilan, aspek politik dan hubungan antar negara. Syariat mengatur baik urusan dengan Allah seperti shalat, puasa dan lainnya maupun yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan muamalah.
Keempat, Akhlâqiyah (Etis), Syariat Islam memperhatikan sisi akhlak dalam seluruh aspeknya dengan makna yang terkandung dari hadits Nabi, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Untuk itu tujuan syariat untuk menegakan tatanan sosial dan mewujudkan keteladanan dalam kehidupan manusia, menaikan derajat manusia serta memelihara nilai-nilai ruhani dan etika.
Kelima, Wâqi’iyah (Realistis), Syariat Islam bersifat realistis. Perhatiannya terhadap moral tidak menghalangi syariat untuk memperhatikan realitas yang terjadi dan menetapkan syariat yang menyelesaikan masalah.

Sifat realistis ini diantaranya dapat mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik yang disebabkan oleh kehancuran zaman, perkembangan masyarakat maupun kondisi-kondisi darurat. Para ahli fiqih terkadang mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kebiasaan dan kondisi.

Keenam, Tanâsuq (Keterarturan), Keteraturan adalah bekerjanya semua individu dengan teratur dan saling bersinergi unruk mencapai tujuan bersama, tidak saling benci, tidak saling sikut, dan tidak saling menghancurkan. Karakter seperti ini disebut dengan takâmul (saling menyempurnakan). Keteraturan nampak pada alam dan syariat seperti sebuah keseimbangan. Artinya nampak keteraturan pada syariat Allah seperti apa yang kita dapat dari ciptaan-Nya.
Oleh karenanya, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dan relevan setiap zaman dan tempat. Jika demikian syariat Islam relevan dalam masa kini baik di negeri arab maupun selainnya. Syariat Islam mencakup segala aspek kehidupn manusia baik sosial, politik, ekonomi maupun pemikiran.

Islam juga mencakup di dalamnya hak-hak dan kewajiban baik hak khusus maupun umum. Dalam hak khusus, diantaranya:
1. Syariat menjelaskan tentang hak-hak keluarga dan memberikan hak dan kewajiban bagi suami istri. Untuk suami diberikan sebagai kepala rumah tangga dan hak kepemimpinan (Qs. 4:34).
2. Syariat menjelaskan tentang hak-hak sosial dan muamalah. (Qs.4:29). Dengan syarat segala kegiatan ekonomi dan sosial bertentangan dengan syariat serta tidak memberikan kemudharatan satu sama lain.
3. Syariat menjelaskan tentang hukum jinayat dan menganggap hal tersebut adalah jarimah dan berhak sanksi dan hukuman bagi pelakunya.

Dalam hal hak yang bersifat umum dengan tiga prinsip, yakni:
1. Syariat menetapkan prinsip kebebasan dengan bingkai syariat yang tidak mengakibatkan cacat dan perilaku amoral atau kelebihan batas.
2. Syariat menetapkan prinsip persamaan. Karenanya, manusia adalah sama dalam setiap haknya, tidak ada perbedaan satu sama lain. Ukurannya adalah dengan ketaqwaan. (Qs.49:13).
3. Syariat menetapkan prinsip syuro atau musyawarah. Prinsip ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bagi manusia.

Jadi tidak ada penerapan dalam sebuah negara kecuali dengan syariat Islam walaupun kondisi dan situasi sudah berubah. Karena itu pintu ijtihad masih terbuka.

Gerakan dan Tuntutan Syariah Islam

Pada hakikatnya hukum-hukum syar’i sudah sangat jelas dan terang baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits. Begitu pula terkodifikasi dalam buku-buku fiqh dalam bab maupun sub bab. Karenanya, dengan mudah sekali bagi yang hendak mendapatkan hukum-hukum syar’i. Tetapi sebagian orang bersikukuh untuk mengkodifikasikannya lebih lanjuta dalam undang-undang (taqnîn).

Tuntutan penerapan hukum Islam ini ini menjadi topik hangat di belahan dunia Islam. Gerakan tuntutan ini dimulai dengan gerakan tanzimât di Turki melalui majalah al-ahkâm al-‘adliyah. Yaitu gerakan regulasi dan reformasi politik dengan tujuan membangun kesultanan Turki Utsmani menuju negara modern pada tahun 1839.

Gerakan pembaharuan Islam juga muncul di Jazirah Arab yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w.1792 M) pada abad 17 di Saudi, Gerakan dakwah Sanusi di Libya (w.1859 M). Kemudian gerakan penerapan hukum syariat di Selatan Mesir oleh Muhammad Ahmad Al-Mahsi (w.1885 M) dan dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897 M) dan Abdul Rahman Al-Kawakibi (w.1802 M) kemudian gerakan pembaharuan dan penyelamatan oleh murid Al-Afghani yaitu Muhammad Abduh (w.1905 M).

Kemudian muncullah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bernama Hasan Al-Banna pada tahun 1929. Gerakan dakwah Ikhwan ini menyebar ke penjuru dunia arab dan belahan dunia Islam lainnya. Perkembangan gerakan dakwah ini yang paling besar dalam abad 20 ini dan tercatat gerakannya lebih dari 70 negara di dunia Islam. Gerakan yang bertujuan kembali kepada ajaran Islam dengan memadukan konsep tarbiyah (pendidikan) dan jihad.

Dalam perjalanan dakwah IM dengan agenda menuntut syariah Islam di Mesir banyak diantara tokoh-tokohnya mati syahid di tangan pemerintah waktu itu, antara lain, Hasan Al-Banna, Abdul Qadir Audah, Yusuf Thala’at dan Sayyid Qutb. Adalah Sayyid Qutb dan Abdul Qadir Audah menjadi rujukan dan tokoh penting bagi gerakan Hasan Al-Banna selanjutnya.

Gerakan lainnya muncul di India yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi tahun 1941 dengan tujuan mengembalikan dakwah kepada Allah dengan menjadikan manusia beribadah hanya kepada Allah dan menerima hukum (al-hâkimiyyah) hanya dari Allah Swt serta menolak segala bentuk jahiliyah. Begitu pula gerakan yang terjadi di Al-Jazair yang dipimpin oleh Abdul Hamid Badis dengan mendirikan organisasi ulama Al-Jazair. Gerakan dakwah ini melalui masjid, sekolah dan surat kabar. Gerakan–gerakan ini terilhami dari gerakan IM di Mesir yang dibawa oleh Hasan Al-Banna yang menuntut penerapan syariah Islam di bumi Mesir.

IM dalam perjuangannya menuntut penerapan syariat Islam dari awal berdirinya. Suatu kali Hasan Al-Banna menulis dalam surat kabar Ikhwan seputar kewajiban penerapan syariat dan keistimewannya serta perbandingan antara syariat dan undang-undang buatan manusia. Al-Banna menulis kepada ulang tahun negara yang ke 50 dengan mengingatkan pemerintah waktu itu bahwa konstitusi negara menyebutkan agama negara adalah Islam. Oleh karenanya wajib bagi pemerintah mengimpelementasikan syariat Islam.

Di Mesir berdiri pula Jamaah Jihad dan Jamaah Islamiyah, keduanya menggunakan kekuatan dengan mengadakan perlawanan bagi pemerintah yang tidak berhukum dengan syariat. Pemikiran mereka bercampur dengan jamaah takfir wa al-hijrah yang melakukan pengkafiran kepada tiap orang. Sekalipun demikian, jamaah takfir dan jihad ini sebenarnya berbeda dalam dasar perjuangannya dengan IM. Inilah yang menjadi perbedaan antara IM dan jamaah jihad ini, bahwa IM tidak mentolerir kekerasan sedikitpun.

Gerakan lainnya juga dilakukan di Turki dengan semangat mengembalikan khilafah dari rezim sekuler Mustafa Kamal. Gerakan ini dipelopori oleh Al-Nursi. Gerakan tuntutan syariah lainnya di Maroko yang dipimpin oleh Abdul Salam Yasin dengan gerakan keadilan dan ihsan (al-‘adlu wa al-ihsân). Selanjutnya di Maroko ini dilanjutnya dengan gerakan pembaharuan dan reformasi oleh Ahmad Raisuni. Begitu pula terjadi revolusi kebangkitan Islam di Iran dengan gerakan yang dihimpun Khomeni yang menggulingkan presiden Shah waktu itu.

Begitu banyak gerakan tuntutan syariah di dunia Islam sampai semangatnya ke bumi nusantara. Gerakan ini di Indonesia yang dipelopori oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Nasir.

Harapan dan tuntutan penerapan syariah begitu marak di dunia Islam dan bahkan di bumi nusantara Indonesia, terlebih lagi dilakukan dengan tanpa kekerasan. Dari gerakan dakwah dan tuntuntan syariah Islam tadi sudah seharusnya menjadi pelajaran besar bagi kaum muslimin.
Tuntutan penerapan syariah menggelora dalam dunia Islam tidak hanya sebatas retorika namun penerapan dilakukan dalam berbagai dimensi baik politik, sosial, wawasan, peradilan dan akhlak. Untuk itu menjadi jelas bagi kita bahwa ajaran Islam tidak dipandang dengan sebelah mata, melainkan dapat dilihat secara komprehensif.

Penerapan syariat Islam tidak difahami dari sanksi pidana dan hukuman saja seperti potong tangan, rajam dan qishâs. Namun lebih dari itu, seperti pendidikan, perlindungan bagi masyarakat, prinsip musyawarah, ketaatan yang tidak absolut (tidak taat kepada orang yang bermaksiat kepada Allah), menolak kediktatoran dengan cara apapun, prinsip persaman dam keadilan di hukum dan lain sebagainya.

Perjalanan gerakan dakwah Islam selama ini tidak dilalui dengan mudah. Seringkali berbagai rintangan dihadapi baik intimidasi, teror, kezaliman, penjajahan, baik dari musuh Islam maupun dari penguasa yang terus mematikan penerapan syariat di belahan dunia Islam. Karena itu, gerakan-gerakan Islam diatas perlu dilanjutkan dengan bersatunya semua gerakan dakwah itu dalam satu wadah dalam gerakan internasional dan mengembalikan kembali batu asasi Islam yang sudah hilang.

Upaya Penerapan Hukum Syariah (Islam) di Indonesia

Tak dipungkiri bahwa formalisasi syariat Islam merupakan isu yang mengalami pasang surut dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Syariat dan hukum Islam memang tampaknya telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Pasalnya, hukum Islam telah diberlakukan sejak Islam tiba di Indonesia (ada yang mengatakan abad ke 1 H dan abad ke 7 H) dan terutama dalam kerajaan-kerajaan setelah kedatangan Islam. Praktis semua kerajaaan Islam di zaman Hindia Belanda hukum Islam itu ditegakkan.

Semenjak Islam masuk wilayah nusantara, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat Islam di daerah kekuasaannya masing-masing. Begitu pula setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, keinginan untuk memberlakukan syariat Islam tidak pernah surut dan padam. Upaya untuk memasukkan Piagam Jakarta berbuntut kepada pembubaran Majelis Konstituante melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah dua kutub yang berbeda tidak berhasil mencapai kesepakatan. Polemik antara kalangan Islam dan kalangan kebangsaan tentang hubungan Islam dan negara menghangat khususnya antara Soekarno dan M. Natsir. Yang pertama mencontohkan Turki yang sekuler dan yang melepaskan diri dari Islam dalam kehidupan bernegara, yang kedua agar Indonesia yang didambakan itu tidak lepas dari Islam.

Diskursus politik Islam di Indonesia modern ini tidak luput dari situasi yang tidak menguntungkan. Sejak tahun-tahun pertama munculnya pergerakan nasional dimana elit politik terlibat dalam perdebatan yang melelahkan mengenai peran Islam di negara Indonesia merdeka. Upaya menemukan hubungan politik yang sesuai dengan Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Pada gilirannya, diskursus idiologis ini menyebabkan berkembangnya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara terutama sepanjang dua dasarwarsa pertama periode orde baru.

Namun, pada era reformasi pasca orde baru, beberapa ketentuan syariat Islam mulai diakomodasi negara secara selektif. Dan, mencuat kembali ketika ST (Sidang Tahunan) MPR yang mengagendakan amandemen UUD 1945 dan terus mengemuka hingga pelaksanaan ST MPR tahun 2002. Perjuangan syariat Islam yang menjadi tuntutan partai-partai politik Islam menemukan jatidirinya dengan adanya momentum melalui sidang BP (Badan Pekerja) maupun ST (Sidang Tahunan) MPR yang dimulai antara tahun 1999 dan 2002. PPP dan PBB misalnya, fraksi Islam ini menjadi penggerak perlunya formalisasi syariat Islam yaitu dengan mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta. Pasalnya, dengan ketentuan formalisasi ini maka ketentuan syariah Islam secara keseluruhan dapat dijalankan.

Pada era reformasi pasca runtuhnya rezim orde baru, wacana penegakkan syariat dan hukum Islam dalam kehidupan bernegara kembali disuarakan dan bahkan lebih lantang dan berani. Karena masa reformasi selalu mengklaim dirinya lebih demokratis dalam melaksanakan sistem pemerintahan. Salah satu imbasnya, potensi dan keinginan umat dapat kembali disuarakan. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai partai politik Islam dan organisasi Islam yang menyuarakan kembali pentingnya penegakan syariat Islam untuk mengatur semua aspek dalam kehidupan umat Islam. Pada masa itu, reformasi politik Islam menunjukkan kekuatannya sebagai daya tekan untuk memasukkan format politik yang dipersepsikan sejalan dengan aspirasi umat Islam dalam wilayah kenegaraan. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa partai Islam yang memiliki platform untuk menjadikan hukum Islam berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Partai politik Islam yang ditampilkan saat itu antara lain adalah PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PK (Partai Keadilan) yang memperesentasikan salah satu bagian dari gerakan politik Islam di era reformasi.2

Setelah era reformasi muncul, tuntutan untuk memasukan kembali tujuh kata dalam piagam dalam pasal 29 UUD 1945 yang diusulkan oleh dua partai Islam PPP dan PBB dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu di luar PKS.3 Tetapi usul ini akhirnya ditolak dan kembali ke pasal semula. Sejatinya, partai-partai politik Islam itu terus berupaya melakukan perjuangan penegakkan syariat baik melalui konstitusi maupun substansi demi mencapai tujuan politiknya.
Penegakan syariah dilakukan dengan tuntutan kehidupan bernegara, dengan kata lain dicerminkan dalam hukum positif. Hingga kini hukum Islam sebagai hukum positif tercermin dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, UU No.7/1989 tentang peradilan agama, kemudian diganti dengan UU No.3/2006, Peraturan pemerintah No.7/1992 tentang bank berdasarkan syariah, UU No.17/1999 tentang penyelenggaraan haji, UU. No.23/1999 tentang Bank Indonesia memberikan mandat pembentukan bank atau cabang bank syariah pemerintah, UU. No.38/1999 tentang pengelolaan zakat, UU No.44/1999 tentang pelaksanaan syariah Islam di Propinsi NAD dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat tuntutan agar dalam paket Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan dibentuk Mahkamah Syari’yah.

Gelora penerapan syariah juga dilakukan dengan regulasi-regulasi melalui peraturan-peraturan daerah. misalnya Perda Pelacuran di Kota Tangerang. Lalu muncul kabar tentang Raperda Anti-Maksiat di Kota Depok. Tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta juga menyiapkan Raperda Anti-Maksiat untuk DKI Jakarta dan di Sulawesi Selatan, DPRD mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan Al-Quran, 18 April 2006. Sebelum itu, Bupati Bulukumba untuk dua periode (1995-2005) menggolkan empat perda berspirit syariat Islam. Perda Minuman Keras; Zakat, Infak, dan Sedekah; Baca-Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin; serta Pakaian Muslim/Muslimah. Keempatnya lahir pada 2003. Kabupaten ini pun populer sebagai pionir penerapan syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Eksperimen syariah di Bulukumba bahkan menembus pemerintahan terendah: desa. Sebanyak 12 desa dijadikan areal percontohan penerapan syariat Islam sejak awal 2005. Sedemikian kondangnya nama Bulukumba di mata pendukung syariah, sampai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan III, Maret 2005, pun digelar di sana. Kongres ini kental warna syariahnya. Ada rekomendasi agar umat Islam memilih kepala daerah yang punya komitmen pada syariat Islam. Implementasi syariat Islam di desa-desa pilot project itu kian pesat. Malah melampaui perda kabupaten dan provinsi. Karena desa itu berani menerapkan pidana hudûd. Desa Padang, Kecamatan Gantarang, misalnya, menetapkan "peraturan desa". Isinya, aturan tentang delik perzinaan (cambuk 100 kali), qadzaf alias menuduh zina (cambuk 80 kali atau dilimpahkan ke polisi), minuman keras (cambuk 40 kali), dan pidana qishâsh (balasan setimpal) bagi tindak penganiayaan.

Kabupaten di Sulawesi Selatan selain Bulukumba juga tak mau ketinggalan. Pangkep, Gowa, dan Wajo seolah berlomba membuat perda syariah. Tapi dinamika ini bukan khas Sulawesi Selatan, yang pada 2002 pernah menuntut otonomi khusus penerapan syariat Islam. Suara serupa berkembang di Provinsi Banten dan Riau. Juga beberapa kabupaten/kota, semisal, Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu. Gelora bersyariat-ria di berbagai daerah ini sudah bergulir lima tahunan terakhir.

Perkembangan ini seperti mengamini survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tentang tingginya dukungan orang pada tawaran penerapan syariat Islam. Dari 2001 hingga 2004, trennya naik. Dukungannya hingga di atas 70%.

Semangat penegakan syariah Islam lainnya dilakukan oleh non negara seperti yang dilakukan oleh Majelis Mujahidin dengan resolusi piagam yogyakarta dengan menyatakan pembulatan tekad untuk menegakan syariah Islam di persada tanah air Indonesia. Mereka menyusun draft revisi KUHP berdasarkan syariat. Ada Komite Persiapan Syariat Islam Banten, Gerakan Penegak Syariat Islam Yogyakarta, Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam Garut, Badan Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam Sukabumi, Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam Pamekasan di Madura, dan Komite Penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetap setia dengan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Besarnya dukungan pada syariat Islam tampaknya tidak berbanding lurus dengan sokongan pada negara Islam. Indonesia saat ini baru marak sebagai "Negeri Syariah", bukan "Negara Syariah". Begitu juga Kongres Umat Islam ke-IV di Jakarta tahun 2005 menyetujui tuntutan penerapan syariah.

Hambatan-hambatan dalam penerapan syariah

Manna’ Qattan dalam bukunya Mu’awwiqât Tathbîq al-Syari’ah al-Islâmiyyah menyebutkan bahwa ada empat hambatan penerapan syariah.
Pertama, Jahil terhadap agama (الأميّة الدينيّة). Kedua, Terlaksananya sekularisasi dalam seluruh kehidupan (نفوذ العلمانية في نواحي الحياة) . Ketiga, Berhukum dengan akal atas nama maslahat (تحكيم العقل باسم المصلحة) . Keempat, Perselisihan antara aktivis Islam dalam dakwah Islam (الاختلاف بين العاملين في الحقل الإسلامي).

Penulis sepakat dengan al-Qattan mengenai hambatan penerapan Syariah di atas. Jika saja hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia sifatnya kumulatif maka masih cukup jauh penerapan syariah di bumi pertiwi nusantara. Namun mencermati sejarah bangsa ini dengan apa yang sudah dilakukan dan diperjuangkan mengenai penegakkan syariah Islam baik secara fomalistik maupun substantif selama ini baik melalui negara, partai politik maupun ormas dan umat Islam. kiranya gelora dan geliat penegakkan syariat dapat dibarengi dengan semangat para aktivis dan masyarakatnya.

Kesimpulan

Telah dipaparkan diatas bahwa penerapan syariat Islam sebuah keniscayaan. Syariat Islam dengan apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Dari sini kita dapat kita katakan bahwa syariat Islam relevan dalam setiap masa dan waktu serta sangat mungkin diterapkan pada masa modern ini setidak-tidaknya dengan syarat-syarat berikut ini:
1. Kembali kepada ajaran Islam keseluruhan dan tentunya pintu ijtihad masih terbuka.
2. Bebas dari tekanan realitas baik dari hal yang berlawanan dengan syariat.
3. Bebas dari cengkraman dan pemikiran barat.
4. Pentingnya keberadaan pemimpin yang komitmen terhadap Islam.

Tuntutan penerapan Islam dalam negeri ini maupun dunia Islam yang dilakukan selama ini melalui legal formalistik dan substantif baik dengan undang-undang dan semangat lainnya dengan tetap dilandasi dengan maqâshid al-Syariah baik yang berkaitan dengan politik, hukum, sosial dan lain sebagainya. Selain itu, perlu penyadaran nasional akan pentingnya bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah Swt kembali kepada fitrah dan jati dirinya, yakni kembali kepada syariat.

Kekhawatiran sebagian orang dengan isu kembali kepada syariat akan terjadi disintegrasi dan perpecahan bangsa tidak teruji, isu ini hanya isapan jempol dan sebatas retorika. Walhasil, syariah benar-benar dapat memberikan manfaat yang berarti bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Sebut saja misalnya, bank-bank yang menggunakan basis syariah di Indonesia sekarang ini cukup survive dan berhasil keluar dari krisis baik krisis financial maupun krisis ekonomi global. Bahkan perkembangannya cukup menggembirakan.
Syariat Islam dalam bidang ekonomi ini dapat dikatakan menjadi kekuatan baru dari krisis ekonomi. Kini, kita menunggu syariat dalam bidang-bidang lainnya baik bidang hukum, politik, sosial dan lain sebagainya. Semoga saja kita benar-benar keluar dari multi krisis dan carut marut bangsa ini dengan Indonesia bersyariat. Wallahu a’lam. (dimuat dalam Jurnal el-Hikmah STIDDI Al-Hikmah, edisi 2/Mei 2009)

Catatan Kaki

1. Pengembangan maslahah dewasa ini dilakukan oleh ulama kontemporer dengan tetap melandasi lima pokok dasar yang dirumuskan ulama klasik. Misalnya, Yusuf al-Qaradhawi, Ahmad al-Raisuni dan Ismail al-Husni. Mereka menambahkan unsur lain selain lima pokok dasar di atas, yakni keadilan (al’adl), persamaan (al-Musâwâh), kebebasan (al-Hurriyah), hak-hak Sosial (al-Huqûq al-Ijtimâiyyah) hak-hak ekonomi (al-Huqûq al-Iqtishâdiyyah) dan hak-hak politik (al-Huqûq al-Siyâsiyah). Selanjutnya lihat Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hal 139-172.
2. Partai Politik yang berasaskan Islam saat itu berjumlah sembilan, yakni Partai KAMI, PUI, Partai Masyumi Baru, PPP, PSII, PSII 1905, Masyumi, PBB dan PK. Namun dalam pemilu berikutnya berhasil lolos ET (Electoral Treshold) adalah PPP dan PBB, adapun PK bermetamorfosa menjadi PKS dalam Pemilu 2004. Selain PKS, partai berasaskan Islam lainnya yaitu PPNU dan PBR. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_Indonesia#Pemilu_2004.
3. Dalam berdakwah menegakkan syariah dan hukum Islam di Indonesia, PKS tidak mengikuti pola pemikiran partai-partai politik Islam lain yang bersikeras memunculkan kembali Piagam Jakarta sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebab, PKS memandang pembahasan tentang hal-hal yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan konstitusi bukan menjadi agenda pokok umat karena konsolidasi kekuatan umat jauh lebih penting dibandingkan melemparkan isu yang tidak didukung oleh kekuatan signifikan di MPR dan justru akan membuat kontroversi. PKS saat itu lebih mengutamakan substansi dari perjuangan penegakkan syariat Islam daripada persoalan redaksional. Tetapi lebih itu, yaitu bagaimana negara dan masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam. Selanjutnya lihat, Untung Wahono, Menjawab Tuduhan terhadap PKS, (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), h 10 dan Mutammimul Ula, “Persoalannya bukan teks agama an sich”, (Suara Keadilan, 08 Januari 2000).


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyyah, tt.
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li dirâsah al-Syari’ah al-Islâmiyah, Amman: Maktabah Al-Basyair, 1990.
Ahmad al-Raisûni, Nazhariah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi, Riyâdh: al-Ma’had al-âlami li al-Fikri al-Islâmiy, 1995).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos, 2005.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_partai_politik_Indonesia#Pemilu_2004.
Jaridah al-Ikhwan, tahun ke 4, edisi 11, tahun 1936.
Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.
John L.Espito, ed, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.
Majalah Gatra, Laporan Utama, Edisi ke-25, Mei 2006.
Manna’ Al-Qattan, Târikh al-Tasyri’ al-Islâmiy, Beirut: Muassasah Risalah, 1993.
Manna’ Khalil Al-Qattan, Wujûb Tahkîm al-Syari’ah al-Islâmiyyah, Cairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr, t.t.
Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan, 2005.
Muhammad Ansor, Asas Islam dan Artikulasi Partai Politik Islam, Jakarta: Tesis UIN Jakarta.
Muhammad Syuwa’ir, Tathbîqu al-Syari’ah Tharîqu al-Amni wa al-Izzah, Cairo: Dar al-Shahwah, 1987.
M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001.
Mutammimul Ula, “Persoalannya bukan teks agama an sich”, Suara Keadilan, 08 Januari 2000.
Nadirsyah Hosen, Sharia and Constitutional Reform in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2007.
Untung Wahono, Menjawab Tuduhan terhadap PKS, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Yusuf al-Qaradhawi, Al-Khasâisu al-Amah Li al-Islâm, Cairo: Maktabah Wahbah,1989.
______________, Ummatunâ baina Qarnain, Cairo: Dar al-Syuruq, 2000.
______________, Syariat al-Islâm, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1987.
______________, Membumikan Syariat Islam, Bandung: Arasy Mizan, Cet 1, 2003.

0 komentar:

Posting Komentar