Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Rabu, 27 Mei 2009

TAFSIR UMAT

Nabi Muhammad Saw lahir dari bani Hasyim dari suku quraisy, beliau menerima wahyu ketika berusia 40 tahun (sekitar 610 M) kemudian Ia mula-mula mengajak manusia kepada dakwah Islam secara diam-diam ‘sirriyah’ selama 3 tahun. Dalam perjalanan dakwah ini Nabi mendapat ujian dan intimidasi dari suku quraisy sampai pada pemboikotan serta memusuhi nabi dan para shahabatnya.

Di awal-awal dakwah tidak banyak yang beriman kepada nabi melainkan sedikit, hanya sebagian pemuka-pemuka quraisy yang beriman, seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dakwah rasul mengalami penolakan dan penindasan dari Quraisy sampai Rasul berhijrah ke Thaif dan di sana pun terjadi penolakan yang sama. Lalu Rasul memerintahkan kepada para Shahabatnya hijrah ke Habasyah untuk mencari perlindungan dari seorang Raja Nasrani yang adil, yang kemudian raja tersebut masuk Islam.

Inilah dinamika dakwah yang dijalani oleh Nabi Saw. Fase ini dikenal dengan fase pembentukan basis sosial atau basis agama. Kemudian kota Madinah tidak jauh dari Mekah menjadi tujuan Nabi berikutnya, sebelumnya kota ini dikenal dengan saling bunuh dan perang antar suku Aus, Khadraj dan orang-orang yahudi. Mereka memperebutkan kekuasaan untuk menjadi raja, karena mereka pada hakikatnya tidak menerima keberadaan seorang raja. Maka datanglah nabi dan tidak mengatakan bahwa ia adalah hamba Alloh, adapun hukum yang dibawa adalah hukum Alloh saja. Kemudian banyak yang memeluk Islam dari Suku Khadraj ketika datang ke musim haji ke Mekah bertemu dengan Nabi, baik bai’atu al-aqabah pertama maupun kedua.

Langkah ketiga yang dilakukan Rasul dan para shahabatnya dalam pembinaan umat adalah dengan hijrah ke Madinah. Rasul ditemani oleh Abu Bakar. Nabi berhasil selamat dari konspirasi Quraisy untuk membunuhnya. Yang kemudian Nabi membangun sebuah basis baru masyarakat Islam di Madinah. Di Madinah, rasul melakukan persaudaraan antar muhajirin dan anshar, anshar pun siap membela saudaranya muhajirin dengan harta dan jiwa. Masa ini dikenal dengan contoh yang mulia dalam pengorbanan dan itsar. Maka terpatri atas persaudaraan, persamaan, dan keadilan sosial sesama.

Maka tumbuhlah masyarakat dengan ikatan yang kuat dari kabilah yang bercerai menjadi kabilah yang bersaty dan kuat, seperti:

1. Janji sumpah untuk membangun kesatuan kabilah-kabilah arab sebagaimana hilful fudhul.
2. Kekuatan Islam dan keyakinan yang dibangun atas nilai tauhid.
3. Penyebaran Islam melalui dakwah.
4. Kesungguhan orang-orang kafir yang mengancam Islam.

Pengertian Umat antara para ahli fikih dan pemikir Islam.

Para ahli fiqih mempunyai perhatian yang besar terhadap ketentuan-ketentuan dengan tetap menjaga penetapan tasyri’ dan sejarah umat. Mereka yakin bahwa dua pengertian yakni syariah dan khilafah merupakan dua pilar pokok untuk membangun umat.

Disebut umat karena umat yang satu karena dikaitkan dengan ideologi yang dibangun atas keyakinan yang banyak yang diyakini oleh umat seluruhnya yakni dengan tauhid dan penerimaan umat baik individu maupun jama’ah dengan perjalanan kehidupan mereka yang sesuai dengan hukum-hukum ilahi. Karenanya, syariah adalah kumpulan hukum-hukum Tuhan yang menjadi kekuatan yang membinasakan umat. Bahwa kerja hukum-hukum syariah menjadi keniscayaan dengan adanya organisasi politik. Telah menjadi populis bahwa keyakinan antar para ahli fikih bahwa jabatan khilafah menjadi hal yang urgen secara syar’i ‘dharurah syar’iyah’ . Singkatnya, bahwa umat dengan absennya syariah akan berakibat vacumnya tasyri’, karenanya jika jabatan Imam menjadi hal yang pokok bagi kerja syariat dan menjaga syariat umat adalah menjadi suatu keharusan. Rosenthal berpendapat bahwa khilafah merupakan simbol kesatuan umatdan menjaga hal itu menjadi suatu keharusan bahkan hakikatnya kewajiban yang utama bagi para ahli fikih dan ahli kalam.

Mawardi menekankan dalam konsepsi khilafahnya yang klasik dengan tabiat umat global dan tabiat ilahi dengan mengatakan: “Sesungguhnya sistem khilafah merupakan keniscayaan syariat dan lebih banyak secara akal serta mustahil lebih dari satu khalifah dalam satu waktu”. Ia juga menekankan bahwa sistem khilafah dalam tiap masa dibangun atas pembaiatan publik. Pemikiran seperti ini bisa kita dapati para ahli fikih lainnya seperti Baghdadi, Abu Yahya dan Abu Yusuf.

Para ahli fikih sunnah memandang dengan gambaran umum bahwa kesatuan umat berdasar pada kesatuan politik dan syariat.

Di Zaman Al-Ghazali kekuasaan khalifah bisa dalam bentuk dan nama, kedudukan penguasaa saat itu menjadi kekuatan politik yang domin. Al-Ghazali mendapatkan bentuk khilafah saat itu seperti simbol penyatu umat. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah beliau tidak mempermasalahkan khilafah tetapi perhatiannya pada pelaksanaan hukum-hukum syariat walaupun kekuasaannya dibangun atas khilafah. Ia menegaskan kerjasama antara Imam (khalifah) dengan penduduk yang terdiri dari para ulama dan umaro. Menjadi penting menurut Ibnu Taimiyah dengan kesatuan umat bukan kepada kekhilafahan sebagaimana Mawardi.

Adapun Ibnu Khaldun membedakan secara jelas antara khilafah dan kerajaan. Raja menurutnya adalah bentuk yang paling baik dari khilafah. Perbedaan menjadi khilafah tidak masalah jika tidak merusak kesatuan umat yang dibangun dengan semangat agama.

Pemikiran juga disampaikan Syah Waliyullah Ad-Dahlawi yang menjelaskan adanya keterkaitan antara politik dan kerja sosial sebagaimana juga dilontarkan Aristoteles, Plato dan Al-Farabi bahwa manusia secara tabiat mencintai masyarakat. Manusia berjalan dengan empat perkembangan:
1. Keadaan permulaan.
2. Keadaan peradaban paska pemenuhan akhlak dan sosial.
3. Hubungan sosial dan penyelesaian konflik dengan adil dan damai serta kehidupan yang layak.
4. Konflik sesama penguasa.

Pada dasarnya, pemahaman khilafah dan umat bertemu satu dengan lainnya sehingga satu diatara keduanya sama lain dengan yang lain.

Tafsir Modern tentang Umat

Dari paparan di atas tentang umat, syariah dan khilafah bahwa sulit memisahkan antara satu dengan lainnya karena ada peleburan antara politik dan agama dalam Islam. Berakhirnya sejarah umat ketika terjadi pemisahaan antara khilafah dan negara, kemudian dihilangkan Khilafah Islamiyah oleh Mustafa Kamal di Turki. Walaupun kesatuan umat masih menjadi pemikiran sebagian besar umat Islam.

Dengan ketetapan seperti ini diketahui bahwa Turki merupakan negara Islam modern pertama yang dibangun atas dasar nasionalisme, dihilangkan kesultanan dan kekuasaan diubah menjadi Majlis Tinggi Negara. Juga dihilangkannya khilafah dari Turki dengan mengambil nasionalisme menjadi sarana modern dan berkembang.

Dalam perdebatan politik Turki kemudian tentang kekuasan politik apakah merupakan hak absolut bagi khalifah atau umat ? Ada yang menganggap jika itu wilayah umat maka dilakukan dengan pemilu ala demokrasi barat atau pendapat lain mengatakan khalifah masuk wilayah umum dan kekuasaan khalifah tidak absolut karena diperlukan baiat (legitimasi) dari rakyat. Oleh karenanya, Al-Qur’an memerintahkan untuk bermusyawarah.

Karena itulah peniadaan kesultanan di Turki sebagaimana pendapat para penulis bahwa hal itu bertentangan dengan semangat Islam. Mereka berusaha dalam perkiraan mereka bahwa rakyat Turki merupaklan sumber kekuasaan, tetapi tampak definisi rakyat dan umat bercampur aduk, karenanya mustahil bahwa umat Islam dunia kini mirip dengan rakyat Turki yang dibangun atas nasionalisme.

Pertanyaan lainnya, apakah diwajibkan syar’i dengan membaiat satu saja menjadi khalifah ? atau apakh boleh umat membaiat atau diwakili perlemen untuk mengangkat khalifah ? Jawaban dari pertanyaan diatas tidak ditemukan secara dalil syar’i hanya dengan analogi. Para ahli fiqih berpendapat dengan adanya khalifah menjadi penting secara syar’i karena mustahil meninggalkan umat dalam keadaan kacau karena khalifah penjelmaan dari penguasa paska wafat Nabi Saw.

Ibnu Taimiyah menafsirkan kata ‘Ulil Amri” dengan ulama dan umaro. Jadi, khilafah dibangun atas kerjasama dengan banyak umat kapan saja karena Ibnu Taimiyah tidak berfikir perwakilan parlemen tapi hal ini mendekati.

Pembentukan Majlis Tinggi Negara di Turki dihujani kritik oleh Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh dalam bukunya: al-Khilafah wa al-Imamah al-Udzma, yakni pembelaannya terhadap model khilafah klasik yang harus dilandasi dengan agama untuk menjaga umat seluruhnya. Berbeda dengan Ali Abdul Razik beliau mendukung gagasan Turki dalam bukunya: al-Islam wa Ushull al-Hukmi, ungkapnya bahwa mendirikan khilafah tidak wajib karena tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an. Ia menambahkan bahwa Rasul Saw di Madinah tidak membangun negara tapi membangun masyrakat religius dan urusan masyarakat lainnya menjadi permasalahan kedua bagi Nabi. Kemudian Ali Abdul Razik dikeluarkan dari syekh Al-Azhar dengan pemikirannya yang sekuler.

Belakangan terjadi perdebatan tentang penyatuan politik umat yang dilandasi dengan khilafah dan definisi nasionalisme paska imprealisme barat atas negara-negara Islam, nasionalisme dibingkai dalam 3 definisi:
1. Nasionalisme Islam
2. Tanar air.
3. Nasionalisme yang dilandasi dengan penyatuan bahasa, sejarah, jenis dan kebiasaan.

Jamaluddin Al-Afghani mendukung gagasan nasionalisme Islam karena sesungguhnya Umat dibangun atas aqidah bukan yang lain. Afgani juga mengajak untuk kembali ke khilafah di era modern ini. Dia mendukung ide Sultan Abdul Hamid dengan penyatuan negara-negara Islam dalam politik utsmani. Tidak cukup demikian saja tapi perlu mengembalikan negara Islam yang dikuasai asing ke pangkuan negara Islam dengan gerakan pembebasan nasionalisme di berbagai negeri Islam. Nasionalisme di sini hanya menjadi sarana untuk penyatuan negara-negara Islam. Model yang digagas Afghani dapat diterima para pemikir Islam.

Bisa saja Nasionalisme Turki kembali ke gerakan Utsmani untuk membentuk pemerintah yang berkonstitusi syariah, perbaikan administrasi dan khilafah dan Pemuka-pemuka utsmani terpengaruk pada masa-mas awal mereka dengan dua model yang berlawanan. Pertama: Liberal ala eropa pada abad 19, kedua: menggunakan nilai-nilai Islam, mereka beusaha memadukan dua hal ini. Kemudian Turki tidak bisa memadukan keduanya dan berubah menjadi Nasionalisme Sekuler Turki pada masa Mustafa Kamal.

Bangsa-bangsa arab mulai terpengaruh dengan pemikiran barat ini, para pemikir arab membuat definisi dengan nasionalisme arab sebagimana Turki tetapi pemikir lainnya tetap berpegang kepada pemikiran globalisasi umat Islam. Pemikiran ini didukung oleh Muhammad Ghazali dan Khalid Muhammad Khalid. Ghazali mengkampanyekan ‘kwarganegaraan umum’ dengan nasionalisme Islam dalam pengertian tanah air.

Muhammad Abdullah Saman juga membentuk persatuan negara-negara Islam menolak pemikiran persatuan arab yang diusung As-sanhuri. Taqiyuddin An-Nabhani pendiri Hizbu Tahrir juga mengangkat nasionalisme Islam dan menolak dengan tegas tentang nasionalisme arab.

Pemikiran nasionalisme Islam meluas di kalangan kaum muslimin sampai ke Hindia, hal itu ditunjukan oleh filosof Muslim Muhammad Iqbal tentang konsep diri dengan globalisasi semangat Islam yang dibangun atas landasan tauhid dan menolak nasionalisme an sich. Begitu juga Jamaah Islamiyah yang dipimpin Abul A’la Al-Maududi hendak meletakan konstitusi negaranya dengan sistem Islam, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Yang kemudian Pakistan mendaklarasikan menjadi negara republik Islam.

Adapun Turki kemudian di bawah Mustafa Kamal menjadi negara nasionalisme modern dan menanggalkan sistem khilafah dengan sekuleralisasi. Nasionalisme Turki ditunjukan kepada dua hal: 1. Menolak suariah, khilafah dan umat. 2. Menolak dengan tegas penyatuan nasionalisme dan Asia kecil adalah tanah air Turki.

Kesimpulan

Dalam pemahaman di atas kita temui bahwa umat adalah suatu kaslian masyarakat religius yang dibangun atas landasan tauhid dan wahyu ilahi sejak zaman Rasul Saw yang dibangun atas dasar syariah. Kita temui juga bahwa Nabi Saw meletasakan basis-basis umat di Madinah

Umat yang dibangun rasul Saw adalah umat global yang bertujuan untuk seluruh manusia bukan arab saja. Aqidah tidak pernah berubah sejak awal khalifah sampai kini karena Islam menekankan apa yang telah dibawa para nabi dengan kesatuan dan aqidah Islam yang global.

Umat yakin dengan aqidahnya yang bukan satu negara saja tapi ke seluruh umat manusia di bawah bendera tauhid dalam umat yang satu. Oleh karenanya, umat di sini tidak difahami dengan pemahaman negara modern atau kwarganegaraan.

Penjagaan penyatuan umat ini kembali kepada khilafah yang dilakukan dengan ijma’ shahabat paska wafat Nabi Saw. Memang pada dasarnya khilafah tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits tetapi sistem ini telah disepakati para ahli fiqih karena penting dan khawatir akan terjadinya fitnah.

Pada dasarnya umat itu ada sebelum khilafah berdiri, dan hakikatnya umat ini terus ada sampai akhir zaman dan mereka yakin dengan tauhid dan berhukum syariah kecuali penyatuan politik umat dengan perpspektif lain. Memungkinkan bagi umat untuk sepakat dengan model baru untuk penyatuan politik dengan situasi yang berubah. Tetapi bukan tidak mungkin kita kembali keapada khilafah masa lalu. (disarikan dari al-nadhariyyah al-Suyasiyah fi al-Ashri al-Hadits, Mandzhuruddin Khan)

0 komentar:

Posting Komentar