Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Rabu, 27 Mei 2009

Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah

Di Indonesia, arbitrase syariah didirikan bersamaan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992.
Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.

Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter. Hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah selanjutnya dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan pada ketentuan UU pasal 49 No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kewenangannya meliputi bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksa dana syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah, dan bisnis syari'ah.
Namun demikian, bisa saja penyelesaian sengketa dalam bisnis syariah dapat dilakukan melalui musyawarah antar dua belah pihak. Jika tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka penyelesaian sengketa melalui dengan dua lembaga di atas.

Penyelesaian Sengketa dalam Bisnis Syariah

Penyelesaian sengketa dalam bisnis syariah bisa terjadi melalui perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikannya secara musyawarah menurut Islam. Sungguh pun demikian, tetap saja ada kemungkinan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Karenanya diperlukan lembaga untuk menyelesaian sengketa ini.
Di Indonesia terdapat dua lembaga penyelesaian sengketa bisnis syariah: 1. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), 2. Peradilan Agama.

1. Badan Arbitrase Syariah Nasional

Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang pengadilan agama telah dibatasi Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut.
Demi kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabah, sudah sangat mendesak. Apalagi, kehadiran bank-bank syariah dengan segala kegiatannya yang didasarkan atas syariah merupakan sesuatu yang legal di Republik Indonesia ini, atas dasar Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 10/1998 tentang Perbankan.
Untuk itulah MUI membentuk lembaga arbitrase yang tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992.
Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Lembaga arbitrase atau Arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua pihak di luar jalur pengadilan untuk mencapai kesepakatan maslahah ketika upaya mufakat tidak tercapai.
Arbitrase dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku. Dasar hukumnya adalah QS Al-Hujarat 9, QS Annisa 35-36 dan sejumlah hadits riwayat Annasai dan Muslim. Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat (binding).
Dengan demikian, apabila ada dua pihak yang mengadakan perjanjian dan mereka berselisih pendapat mengenai makna atau maksud dari suatu istilah yang termuat di dalam perjanjian itu misalnya, kedua belah pihak dapat meminta kepada suatu lembaga "arbitrase" untuk memberikan pendapatnya. Pendapat itu bagi mereka yang berselisih, akan diterima sebagai pendapat final.
Kekuatan hukum yang dibuat oleh Basyarnas punya kekuatan mengikat. Setiap salinan putusan dikirimkan ke pengadilan negeri untuk menjadi arsip. Hakim pengadilan negeri tak boleh lagi memeriksa perkara yang sudah diputus Basyarnas. Jika harus ada eksekusi pun Basyarnas bisa meminta bantuan dari pengadilan negeri untuk melakukannya.
Keputu san arbitrase tak boleh dibanding. Berbeda bila ke pengadilan negeri karena masih ada proses banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Bagi perusahaan besar jauh lebih efisien bila menggunakan Basyarnas. Selain tidak terekspose secara publik, penyelesaiannya singkat dan sederhana. Perusahaan besar selama ini lebih tertarik dengan penyelesaian perselisihan lewat arbitrase ketimbang peradilan.

Yurisdiksi (Kewenangan) Basyarnas
Yurisdiksi Basyarnas meliputi:
a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain- lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas.
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.

Syarat-syarat Arbiter
Menurut UU No.30 tahun 1999 pasal 12 menyebutkan bahwa syarat-syarat arbiter sebagai berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum.
2. Umur minimal 35 tahun.
3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah/semenda derajat ketiga dengan para pihak.
4. Tidak ada kepentingan finansial/bisnis atas putusan arbitrase.
5. Berpengalaman/menguasai bidangnya 15 tahun.

Putusan Arbitrase
1. Dalam waktu selambat-lambatnya 180 hari sejak ditunjuk sebagai Arbiter /Majelis Arbiter, seluruh proses pemeriksaan hingga putusan harus sudah selesai.
2. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak dan tidak bisa dilakukan upaya hukum (banding/kasasi).
3. Salinan resmi putusan arbitrase didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
4. Putusan arbitrase mempunyai nilai eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan maka putusan dilaksanakan dengan perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri (atas permintaan salah satu pihak).

Manfaat Arbitrase
1. Penyelesaian sengketa dengan mengutamakan prinsip islah. Jika tidak berhasil perkara diperiksa dan diputus. Putusan “final dan mengikat” serta mempunyai nilai eksekutorial.
2. Proses pemeriksaan dengan sederhana dan cepat dan persidangan dilaksanakan secara tertutup untuk umum, sehingga kelemahan/aib para pihak tidak diketahui umum.
3. Seluruh proses pemeriksaan hingga putusan harus selesai dalam waktu 6 bulan, sehingga waktunya lebih efisien.
4. Jika pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan, pihak yang menang tinggal mohon eksekusi ke Pengadilan Negeri ybs. Mohon eksekusi lebih efisien daripada berperkara (dengan gugatan) melalui Pengadilan Negeri yang terhadap putusannya tidak final dan mengikat.
5. Bagi orang-orang beriman berarti telah konsisten menjadi muslim yang kaafah: Bisnisnya sesuai dengan tuntunan syariat, Akad-akadnya menurut ketentuan akad-syariat, Jika terjadi sengketa diselesaikan secara syariat.

2. Peradilan Agama
Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. sebelumnya UU No. 7 Tahun 1989 wewenangnya dibatasi hanya meliputi perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah dan wakaf orang-orang yang beragama Islam.
Kini, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi Islam. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syari'ah adalah kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah. Kewenangan peradilan agama memiliki sebelas bidang usaha ekonomi syariah: meliputi bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksa dana syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah, dan bisnis syari'ah.
Selanjutnya, ada beberapa hal penting yang menjadi 'pekerjaan rumah' para hakim pengadilan agama terkait perluasan kewenangannya dalam menangani sengketa perekonomian syariah. Pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam.
Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah.
Ketiga, para hakim agama juga perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam.
Perluasan kewenangan peradilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah, tuntas sudah. Satu hal lagi, yang kini diharapkan para pelaku perbankan syariah, adalah UU Perbankan Syariah. Berbagai kalangan juga mendesak agar RUU Perbankan Syariah segera disahkan menjadi Undang Undang.
Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Tanpa Undang-Undang Perbankan Syariah, maka sosialisasi dan pengembangan di daerah dinilai banyak pihak kurang efektif.

Penutup
Penyelesaian sengketa dalam bisnis syariah dapat dilakukan melalui musyawarah antar dua belah pihak yang melakukan perjanjian. Jika saja tidak dapat diselesaikan dapat melalui peradilan agama ataupun basyarnas.
Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama, (berdasarkan pada ketentuan UU pasal 49 No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagaimana dijelaskan di atas. Namun ini pun, harus melalui kesepakatan kedua belah pihak terlebih dulu. Kalau nasabah tidak sepakat, tentu kasus sengketa itu tidak bisa dibawa ke Basyarnas.
Kini, peradilan agama diperluas kewenangannya untuk menangani sengketa ekonomi syariah. Dengan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam sebelas bidang ekonomi Islam sebagaimana yang disebutkan di atas.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan tetap dan masih dibutuhkan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini melalui lembaga arbitrase syariah, Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional).

0 komentar:

Posting Komentar