Ahlan Wasahlan (Selamat Datang) Saudaraku

Kamis, 23 Juli 2009

Koalisi dalam Islam (studi kasus koalisi PKS dalam pilpres 2004)


Pendahuluan

Dua bulan terakhir ini isu koalisi antar partai politik cukup ramai diperbincangkan apalagi menjelang pemilihan Presiden Republik Indonesia belakangan ini. Kecenderungan koalisi antar politik dalam perjalanan bangsa ini sering terjadi baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Koalisi menjadi keniscayaan dalam rangka memenangkan para kandidat yang diusungnya. Selain itu, untuk memperkuat pemerintahan baik dari dalam pemerintahan maupun di parlemen. Berbicara tentang koalisi maka yang pertama muncul dalam benak seseorang adalah masalah yang berkaitan dengan politik yakni power sharing (bagi-bagi kekuasaan). Tetapi kata koalisi digunakan juga untuk bidang-bidang lain di luar politik. Misalnya koalisi antara perusahaan. Kata koalisi digunakan ketika bergabungnya beberapa orang atau kelompok dengan tujuan yang sama. Dalam bisang politik, koalisi sering kali dihubungkan dengan partai-partai. Koalisi adalah persekutuan antara partai atau kekuatan politik lain demi memperjuangkan suatu aspirasi atau cita-cita tertentu. Ini biasanya ditunjukkan bagi partai yang akan membentuk pemerintahan.


Koalisi partai politik merupakan fenomena yang sering berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan kabinet dari partai-partai yang memiliki suara di parlemen. Partai pemenang Pemilu memiliki kesempatan untuk membentuk kabinet dengan memperhatikan dukungan mayoritas di parlemen. Kenyataannya, gejala koalisi partai tidak hanya terjadi dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensiil pun dikenal koalisi partai politik, misalnya dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, partai-partai di parlemen melakukan koalisi demi meloloskan kebijakan tertentu. Pembentukan kabinet selama ini merupakan versi tertentu dalam koalisi. Presiden mempertimbangkan koalisi partai pendukungnya untuk mengisi posisi dalam kabinet.

Dalam sistem Presidensiil sejatinya Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen melainkan bertanggungjwab kepada rakyat yang memilihnya, Presiden tidak berwenang membubarkan parlemen dan kabinet sepenuhnya bertanggungjawab kepada presiden. Namun demi pertimbangan kepentingan tertentu, maka koalisi partai dalam kabinet dapat dilakukan.

Selanjutnya tulisan berikut ini tidak menyoroti koalisi partai politik yang terjadi akhir-akhir ini. Namun sejauhmana koalisi politik ini sebenarnya dilakukan dalam pandangan Islam dengan mengambil studi kasus koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilihan presiden tahun 2004 yang lalu.

Definisi Koalisi Politik

Koalisi Politik sepadan dengan istilah dalam Islam dengan al-tahâluf al-Siyâsiy, al-tahâluf berasal dari kata al-hilfu yang berarti al-‘ahdu yaitu perjanjian, kesepakatan dan sumpah. Kata jamaknya adalah ahlâf.

Sementara Munir Muhammad Ghadban menyebutkan, al-Hilfu adalah bersumpah atau berjanji untuk saling membantu, tolong menolong dan dalam mengambil kesepakatan.
Adapun al-Siyâsiy berasal dari kata sâsa yasûsu siyâsah. Siyâsah yang berarti politik. Politik dalam Islam sudah lama dikenal dalam kepustakaan Islam dengan istilah al-Fiqhu al-Siyâsiy atau fiqh al-Siyâsah al-Syar’iyyah. Jadi, fiqh siyâsah adalah ilmu yang mempelajari ihwal-ihwal atau seluk beluk pengaturan urusan umat dan negara dalam bentuk hukum, peraturan, kebijakan yang dibuat oleh penguasa dengan dasar-dasar syariat demi mewujudkan kemaslahatan umat.

Koalisi Politik dalam Sirah Nabawiyah

Koalisi bukanlah sesuatu yang baru baik dalam bidang politik maupun bidang lainnya, koalisi pernah terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Nabi. Dalam masa hidupnya Rasulullah Saw telah melakukan beberapa kali melakukan koalisi dan perjanjian bahkan menyaksikannya baik sebelum diangkat menjadi Nabi, ketika pembentukan negara Islam di Madinah maupun pasca pendirian negara di Madinah.

Dalam sirah Ibnu Hisyam diceritakan bahwa adanya perjanjian-perjanjian yang terjadi pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw. Perjanjian tersebut adalah perjanjian al-Muthayyibîn dan perjanjian al-fudhûl.

Diceritakan bahwa bangsa quraisy memiliki enam kabilah, yaitu Abdul Dar, Ka’ab, Jamha, Sahna, Mahzum dan Adiy (kabilah Ahlâf). Suatu kali keturunan Abdul Manaf ingin mengambil kekuasaan dalam penjagaan ka’bah dan air zam-zam dari Abdul Dar serta ingin menyingkirkannya.

Maka terjadi suatu perjanjian diantara mereka untuk saling menjaga kekuasaan yang telah diberikan dan untuk tidak saling memperebutkan. Kemudian Abdul Manaf membawa mangkok yang cukup besar diisi dengan minyak wangi untuk melakukan suatu perjanjian di depan ka’bah ditambah lagi dengan Kabilah Asad, Zahrah dan Tamim. Lalu mereka memasukkan tangannya ke dalam mangkok untuk melakukan perjanjian. Mereka menamakannya dengan ahlâf. Perjanjian ini selanjutnya dikenal dengan perjanjian al-Muthayyibîn.

Koalisi al-Muthayyibîn sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Rasulullah Saw pernah memberikan komentarnya terhadap perjanjian ini: “Aku pernah menyaksikan ketika berlangsungnya perjanjian al-Muthayyibin, aku tidak mengingkarinya dan walaupun aku diberikan kekuasaan atas binatang ternak”.

Selain itu, Nabi Saw pernah menyaksikan koalisi untuk membela orang-orang yang teraniaya. Koalisi itu dikenal dengan hilfu al-fudhûl. Kisahnya adalah orang-orang quraisy terpanggil untuk melakukan perjanjian (baca:koalisi) maka mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Jad’an, karena ia orang yang paling dihormati dan paling tua usianya. Adapun mereka yang melakukan perjanjian adalah Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Tamim bin Murrah. Mereka melakukan perjanjian untuk tidak memberikan kezaliman di kota Mekkah baik terhadap penduduk pribumi maupun para pendatang serta yang bermukim di sana. Mereka akan menghadapi orang-orang yang akan melakukan kezaliman sampai ia meninggalkan kezaliman itu. Orang-orang quraisy menamakan koalisi ini dengan hilfu al-fudhûl.

Adapun sebab terjadinya adalah seorang badui dari desa Zubaid datang ke kota Mekkah dengan membawa beberapa barang dagangan kemudian barang itu dibeli oleh al-Ash bin Wail, seorang yang kaya raya dan terpandang di kota Mekkah, tetapi ketika barang itu telah diserahkan kepada al-Ash bin Wail, dia tidak mau membayarnya. Maka seorang badui tadi meminta pertolongan kepada kelompok ahlâf (Abdul Bar, Makhzum, Jamh, Sahm dan Adi bin Ka’ab). Akan tetapi mereka menolak untuk memberi pertolongan dari kezaliman al-Ash bin Wail. Bahkan mereka menghardik laki-laki badui tersebut. Ketika badui dari desa Zubaid tidak ada tanggapan, ia naik ke bukit Abu Qubais (gunung di sekitar Masjid al-Haram) bersuara lantang membaca syair, inti syair itu menyebutkan bahwa tidaklah pantas tanah haram ditempati oleh orang yang berbuat dosa. Setelah mendengar seorang badui tadi maka berkumpullah Hasyim, Zuhra, dan Taimiy bin Murrah di kediaman Abdullah bin Jad’an. Mereka sepakat berjanji dengan sungguh-sungguh untuk membela orang yang teraniaya dan akhirnya hak orang badui dikembalikan.

Nabi Saw ini sangat mendukung koalisi dalam bentuk seperti ini. Dalam dukungannya beliau menyatakan: “Kalau aku diundang (dalam hilfu al-Fudhûl) di masa Islam maka aku akan melayaninya”. Karena Nabi mengetahui persis bahwa Hilfu al-Fudhûl ditegakkan hanya untuk membela orang-orang yang teraniaya dan untuk mengembalikan hak-haknya. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada perjanjian dalam Islam dan setiap perjanjian yang dilakukan dalam masa Jahiliyyah sangat didukung oleh Islam”.

Koalisi dalam masa pembentukan negara dimana banyak peristiwa yang penting yang terjadi pada masa itu. Peristiwa itu adalah bai’at aqabah pertama dan ba’iat aqabah kedua. Bai’at aqabah pertama didahului dengan masuk Islamnya enam orang pemuda dari Yatsrib yang berasal dari suku khazraj pada musim haji tahun 11 kenabian. Untuk selanjutnya mereka berjanji untuk datang pada musim haji yang akan datang. Pada musim haji berikutnya tahun 12 kenabian bertepatan pada bulan Juli 621 M, dua belas orang anshar datang menemui dan membaiat Rasulullah Saw di Aqabah sehingga baiat itu dikenal dengan baiat aqabah pertama. Selanjutnya Rasulullah Saw mengutus Mushab bin Umair berangkat bersama mereka sebagai duta Islam pertama di Madinah. Adapun peristiwa baiat aqabah kedua terjadi pada tahun 13 kenabian bertepatan pada bulan Juni 622 M, mereka datang untuk melaksanakan ibadah haji berjumlah tujuh puluh lima orang, dua orang diantaranya wanita. Setelah melaksanakan haji, mereka menemui Rasulullah Saw pada suatu malam sementara Rasul Saw ditemani oleh pamannya Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Pada malam itu Rasulullah Saw membaiat mereka.

Tahâluf yang monumental dicatat dalam sejarah adalah perjanjian damai dengan Yahudi di wilayah Madinah -ketika Rasul Saw hijrah ke Madinah- demi menciptakan keamanan dan penegakkan keadilan secara bersama. Perjanjian ini dikenal dengan piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia yang tertulis dalam sejarah Islam.

Selanjutnya, Rasulullah Saw dalam melakukan koalisi ini dalam pembentukan negara baru di Madinah. Ia membuat perjanjian antara muhajirin dan anshar yang berisikan suatu seruan kepada orang-orang Yahudi untuk membuat suatu perjanjian agar memberikan kebebasan kepada mereka untuk memeluk agama Islam dan menjaga keselamatan harta benda mereka kemudian mereka saling memberikan persyaratan. Bahkan Rasulullah Saw membuat perjanjian dalam empat bagian. Pertama, Perjanjian persaudaraan sesama kaum muslim. Kedua, Perjanjian saling menolong antara kaum muslim dan kaum musyrik, Ketiga, Perjanjian untuk melakukan kerja sama antara kaum muslim dengan kelompok besar lainnya (non muslim), Keempat, Peraturan-peraturan umum.

Terakhir, Rasulullah Saw melakukan koalsi pasca pembentukan negara di Madinah yang dilalui dengan empat fase. Pertama, meskipun sudah ada perjanjian terdahulu dengan Rasulullah Saw, orang Yahudi dan orang Musyrik, namun quraisy tetap berupaya menimbulkan ancaman dan peringatan kepada suku Aus dan Khadraj. Kedua, Fase ini diperkirakan berlangsung selama empat tahun yaitu sejak selesainya perang Badar sampai diadakannya perjanjian Hudaibiyah. Ketiga, Masa proklamasi resmi dari negara Islam terhadap musuh besarnya, kaum Quraisy. Proklamasi ini diiringi dengan perjanjian damai Hudaibiyah dan perubahan peta perjanjian bagi Negara-negara arab. Keempat, Turunnya surat bara’ah, yaitu setahun setelah fathu Mekkah dimana semua kekuatan yang menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin. Fenomena tersebut merupakan akhir dari semua perjanjian dan koalisi yang ada dalam Islam.

Dari paparan di atas sangat jelas bahwa koalisi pernah dilakukan dalam sejarah Islam baik Nabi Muhammad Saw sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi. Koalisi yang dilakukan Nabi Saw pada masanya bermuara untuk kemaslahatan umat baik sesama muslim maupun non muslim. Selanjutnya, sejauhmana kemaslahatan itu dapat diraih, sejauhmana maslahah dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam yang memang ketentuannya tidak secara terang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits.

Teori Maslahah

Tujuan Allah Swt mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat (kerusakan) baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, Allah Swt dalam menetapkan dan menciptakan hukum memiliki tujuan (maqâshid al-syariah) untuk memperoleh kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi tegasnya, bahwa maqâshid al-Syariah merupakan tujuan utama Allah Swt dalam menetapkan hukum demi mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Untuk itu, maslahat yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam ditetapkan melalui nash-nash adalah maslahah hakiki.

Maslahah adalah menetapkan hukum terhadap suatu persoalan yang tidak dikemukakan dalam nash maupun ijma’, karena pertimbangan maslahah dengan bersendikan menarik manfaat dan menghindari mudharat. Yakni maslahat yang selaras dengan tujuan-tujuan syariat yang tidak didapati secara khusus baik bersifat melegitimasi maupun yang menolaknya. Maslahah ini merupakan metode penetapan hukum yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja metode ini menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Umpamanya, inisiatif khalifah Abu Bakar dalam kodifikasi Al-Qur’an yang sebenarnya tidak diperintahkan oleh nash. Namun penulisan yang diprakarsai oleh Abu Bakar saat itu mengandung maslahah, karena shahabat yang hafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam perang Yamamah sehingga dikhawatirkan Al-Qur’an akan terlupakan kemudian.

Pada prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Al-Ghazali menegaskan bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, dan ada lima hal yang harus dijaga dalam kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Artinya, Maslahah mu’tabarah (dapat diterima) adalah maslahat yang bersifat hakiki yang meliputi lima jaminan dasar yang disebutkan tadi. Kelima jaminan tersebut merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar manusia hidup aman dan sejahtera.

Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat; dharûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat satu sama lain. Dalam hal ini peringkat dharûriyyât menempati urutan pertama, disusul oleh hâjiyyât, kemudian disusul oleh tahsîniyyât. Namun disisi lain peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.

Untuk itu yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia. Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharûriyyât (primer), hajiyyât (sekumder) dan tahsîniyyât (tersier).

Yang dimaksud dengan dharûriyyât adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang esensial dalam menjaga kemaslahatan agama dan dunia. Namun jika ketentuan ini hilang maka akan terancam eksistensi lima pokok dasar. Kelima eksistensi itu adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima eksistensi ini disebut pula dengan al-dharuriyyât al-khams. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyât tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan kebutuhan yang menghindarkan manusia dalam hidupnya. Tidak terpelihara kelompok ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukshah dalam ibadah dalam ilmu fikih. Sedangkan dalam kelompok tahsîniyyât adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan dan kebiasaan-kebiasaan baik dan masuk di dalamnya akhlak mulia.

Jika maslahat menjadi tujuan hukum taklifiy dan hukum wadh’iy maka dengan demikian hukum syar’i semuanya amat memperhatikan kemaslahatan pribadi seseorang. Kemaslahatan pribadi ini tidak bisa ditinggalkan kecuali apabila berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar atau apabila kemaslahatan pribadi merugikan orang lain. Misalnya, seseorang memakan harta orang lain demi menutupi kebutuhan pribadinya. Hal demikian merupakan kemaslahatan yang tidak dapat diterima karena kemudharatan yang menimpa orang lain lebih berat dibanding kemanfaatan yang diperoleh untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu, Islam sangat memperhatikan kemaslahatan. Islam tidak menetapkan beban atas manusia kecuali beban tersebut mampu dikerjakan dan bisa dijalani secara kontinyu.

Dengan demikian, Islam dengan hukum-hukum syariahnya mengacu kepada usaha untuk mewujudkan kemaslahatan dan memberi kemudahan yang tidak mengacu kepada yang lainnya. Bagitulah para ulama mengambil ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang bertujuan mengambil maslahat dan menolak bahaya. Hal itu bukan berarti meniadakan nash karena ia tidak mampu mewujudkan kemaslahatan. Bagaimanapun kemaslahatan harus sesuai dengan nash karena kemaslahatan yang bertentangan adalah rekayasa nafsu dan pikiran manusia yang berarti menetapkan keinginan nafsu terhadap ketetapan nash.

Dhawâbith al-Maslahah (Rambu-rambu Maslahah)

Pada dasarnya, maslahah tidak dapat menjadi dalil hukum yang berdiri sendiri sebagaimana Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sehingga dapat membentuk hukum-hukum bagian daripadanya sebagaimana yang dilakukan nantinya oleh peneliti. Namun, maslahah bersifat kulliy dengan tetap mengambil sumber hukum Islam yang ada baik dari dalilnya maupun sumbernya dan berorientasi untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, diperlukan rambu-rambu (dhawâbith) dalam penetapan hukum maslahah ini dengan menggali dalil-dalil yang ada baik dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyâs. Menurut Ramadhan al-Buthiy, dalam penetapan hukum Islam melalui maslahah ini setidaknya terdapat lima dhawâbith berikut ini:.

Pertama, mengetahui tujuan maqâshid al-Syarî’ah berikut dengan peringkatnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tujuan hukum Islam adalah memelihara kemaslahatan dan menghindari kerusakan dengan memelihara lima unsur pokok, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Selanjutnya dalam memelihara kelima unsur pokok ini sesuai dengan masing-masing peringkatnya; dhâruriyyât, hajiyyât dan tahsîniyyât.

Kedua, Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, artinya menetapkan suatu hukum yang bermuara pada maqâshid al-Syarî’ah harus bersandar dengan dalil Al-Qur’an. Jika maslahah bertentangan secara syara’ dengan Al-Qur’an maka maslahah ini dengan sendirinya batal.

Ketiga, tidak bertentangan dengan Sunnah. Sunnah di sini adalah apa-apa yang ditetapkan sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan baik secara mutawâtir maupun âhâd.

Keempat, Tidak bertentangan dengan qiyâs. Qiyâs (analogi) merupakan menjaga kemaslahatan dari sisi cabang (fara’) dimana menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. Setiap qiyâs dapat digunakan demi maslahah. Tetapi, tidak selalu maslahah bisa dilakukan dengan qiyâs.

Kelima, tidak boleh bertentangan dengan maslahah yang lebih penting. Karena itu, tingkatan lima unsur pokok tadi al-dharûriyyât al-khams adalah suatu keharusan dimana tidak boleh bertentangan secara urutannya. Dengan peringkat urutan berikut; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Untuk itu, menjaga agama merupakan peringkat yang pertama dan didahulukan daripada menjaga jiwa jika terjadi pertentangan dan menjaga jiwa lebih didahulukan daripada menjaga akal dan menjaga akal lebih didahulukan daripada menjaga keturunan dan menjaga keturunan lebih didahulukan daripada menjaga harta ketika terjadi pertentangan dan demikian.

Namun jika terjadi benturan maslahah dengan nash sebagaimana pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa Najmuddin al-Thufi (w.716 H) menyebutkan bahwa jika terjadi demikian maka maslahah didahulukan daripada nash. Pendapat al-Thufi ini tidaklah mencakup keseluruhan nash melainkan hanya pada bidang muâmalah dan ‘urf (kebiasaan) saja bukan kepada hal Ibadah dan persoalan yang sudah ditentukan oleh nash. Menurut al-Qaradhawi, nash yang dimaksud oleh al-Thufi adalah nash yang sifatnya zhanni baik dalam sanad, matan, penetapan maupun dalil hukumnya yang memang bukan nash qath’iy. Bahkan, Abu Zahrah menambahkan bahwa suatu kemustahilan apabila terjadi benturan antara maslahah dengan nash yang qath’iy. Untuk itu tetap didahulukan nash daripada maslahah kecuali yang disebutkan tadi.

Dapat dikatakan demikian karena nash memiliki ketinggian dan kemuliaan sekalisgus penjagaannya dari Allah Swt. Pasalnya, nash memuat di dalamnya keadilan, rahmat dan maslahat seluruhnya. Karea itu, nash menjadi alat ukur untuk menentukan maslahat baik dalam membedakan antara maslahat dan mafsadat maupun maslahat yang lebih yang tinggi daripada kemaslahatan dunia.

Efektifitas (Taf’îl) al-Maslahah

Dalam konteks dewasa kontemporer ini, karena perubahan situasi dan kondisi, adanya perkembangan sains dan teknologi, tentu saja kebutuhan mendasar dalam teori hukum Islam klasik dapat dikembangkang lebih lanjut berdasarkan prinsip ijtihad. Pasalnya, fatwa dalam arti sebagai jawaban dari persoalan kontemporer dapat mengalami perubahan sesuai tempat, zaman, kondisi, adat dan tradisi. Berdasarkan dari pemikiran di atas maka kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) yang dirumuskan oleh ulama klasik tetap masih aktual namun dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan manusia dewasa ini. Karena itu pengertian maqâshid al-syariah yang oleh ulama klasik dibatasi pada al-kulliyât al-khams tersebut dapat ditambah, diperluas dan dapat pula dikembangkan. Jadi, dapat dikatakan mengefektifkan pengertian al-Maslahah secara lebih luas.

Pengembangan pengertian maslahah atau maqâshid al-Syariah itu dikembangkan misalnya oleh Jamal Athiyyah dengan menambah dan memperinci kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) menjadi dua puluh empat maqâshid syariah yang dibagi menjadi empat segmentasi. Yakni segmen individu, segmen keluarga, segmen umat dan segmen manusia. Pertama, Segmen individu, yakni memelihara jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta. Kedua, Segmen keluarga, yakni Menata hubungan antara dua jenis manusia, menjaga keturunan, mewujudkan ketenangan, ketentraman dan rahmat, menjaga nasab (garis keturunan), memelihara agama dalam keluarga, pengelolaan fundamental keluarga, mengelola harta keluarga. Ketiga, Segmen umat, yakni menata landasan dasar umat, menjaga keamanan, menegakkan keadilan, menjaga agama dan akhlak, saling membantu dan tanggungjawab, menyebarkan ilmu dan menjaga kecerdasan umat, memakmurkan bumi dan menjaga kekayaan umat. Keempat, Segmen manusia, yaitu saling kenal dan bantu, mewujudkan kepemimpinan umum manusia, mewujudkan perdamaian dunia yang dibangun atas keadilan, menjaga negara dari hak asasi manusia, menyebarkan dakwah Islam.

Bahkan lebih jauh dari itu, pengembangan maslahah dewasa ini dilakukan oleh ulama kontemporer tetapi dengan tetap melandasi lima pokok dasar yang dirumuskan ulama. Misalnya, Yusuf al-Qaradhawi, Ahmad al-Raisuni dan Ismail al-Husni. Mereka menambahkan unsur lain selain lima pokok dasar di atas, yakni keadilan (al-‘adl), persamaan (al-Musâwâh), kebebasan (al-Hurriyah), hak-hak Sosial (al-Huqûq al-Ijtimâ’iyyah), hak-hak ekonomi (al-Huqûq al-Iqtishâdiyyah) dan hak-hak politik (al-Huqûq al-Siyâsiyah).

Jadi, maslahah atau maqâshid al-syariah dewasa ini dapat formulasikan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia. pengembangan teori maslahah ini sebagaimana dijelaskan di atas tetap mengacu kepada lima pokok dasar demi mewujudkan kemaslahatan, keadilan, kasih sayang sesama manusia dan lain sebagainya serta untuk menyingkap rahasia yang terdapat dalam suatu aturan tertentu dalam hukum Islam (asrâr al-tasyrî).

Koalisi PKS untuk Pemilihan Presiden tahun 2004

Dalam kasus pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2004 yang lalu, PKS dalam pemilu 2004 tidak menyodorkan kadernya menjadi Capres dan Cawapres. Namun muncul dua nama menjadi pembahasan utama anggota Majlis Syura Partai, mereka adalah Amien Rais (Capres dari PAN) dan Wiranto (Capres dari Golkar). Menjadi tantangan tersendiri bagi PKS apalagi sebagai Partai Dakwah, sebab partai bukanlah kelanjutan logis dari kehendak untuk mengejar kekuasaan politik, melainkan kelanjutan dari Dakwah Islamiyah itu sendiri. Dengan demikian, bagi kalangan Partai, mendirikan partai politik sama dan sebangun maknanya dengan upaya memasuki dimensi politik sebagai bagian dari dakwah.

Sementara itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS mempunyai tiga kriteria untuk menentukan siapa calon presiden yang akan didukung nantinya. Kriteria itu, Islamis, reformis dan demokratis.

Karena itu, kita melihat pertimbangan maslahat berikut ini: Pertama, Islamis. Ini adalah kriteria yang paling fundamental. Seseorang itu tidak hanya beragama Islam dalam artian formal beragama, namun secara fikrah orang tersebut harus yang alim. Kriteria Islami juga mempunyai pengertian, orang tersebut mempunyai track record yang jelas dalam kancah dakwah di Indonesia. Dengan kata lain, orang tersebut merasakan betul pahit dan manisnya dakwah di Indonesia. Kedua, reformis. Artinya, orang tersebut mendukung agenda reformasi yang selama ini diperjuangkan. Jika dilihat dari kriteria ini, maka Amien Rais dan Wiranto memenuhi kriteria. Namun, kalau dilihat dari mana yang lebih besar posisi reformisnya antara Wiranto dan Amien, jelas Amien Rais. Karena bukan saja mendukung reformasi, tapi Amien adalah sebagai lokomotif reformasi. Ketiga, demokratis. kriteria pemimpin demokratis adalah sebuah keharusan, sebab dengan adanya pemimpin yang mempunyai jiwa demokratis, berarti menjamin keberlangsungan dakwah itu sendiri. Dalam konteks ini, Amien Rais dengan pengalaman politiknya selama ini, adalah sosok yang sudah teruji jiwa kedemokratisannya. Sedangkan Wiranto selama karirnya adalah tentara yang selalu berada di lapangan yang terbiasa memberikan instruksi.

Selain tiga kriteria yang disebutkan di atas. Amien juga dinilai berani menandatangani kontrak politik dengan mahasiswa. Sebagaimana yang dituturkan Hidayat Nur Hawid selaku Presiden PKS saat itu bahwa Amien juga satu-satunya capres yang dinilai PKS dapat menindak korupsi dengan tegas. Hal ini mengacu pada eksekusi Amien pada anggota DPRD Sumatra Barat.
Dengan tiga kriteria yang dirumuskan PKS di atas paling mendekati tiga kriteria tersebut adalah Amien-Siswono yang mendapat dukungan karena dinilai berlatar belakang reformis, demokratis, dan islamis.

Alhasil, PKS akhirnya memutuskan untuk mendukung pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo ketimbang Wiranto dan Shalahuddin Wahid. Keputusannya ini dilakukan melalui rapat Majelis Syura yang terdiri dari DPP, MPP dan Dewan Syariah Pusat. Dengan demikian PKS memandang bahwa Amin-Siswono memiliki maslahat lebih besar daripada Wiranto. Kelihatannya, PKS dalam memutuskan dua kandidat pasangan ini dengan menggunakan teori maslahah. Kemaslahatan yang didasarkan pada tingkat kebutuhan dan prioritasnya.

Karena pasangan Amien-Siswono gagal dalam pilpres putaran pertama. Untuk Putaran kedua ini diikuti oleh dua kontestan antara Mega-Hasyim dan SBY-JK. Dalam putaran kedua ini, PKS mendukung SBY-JK (Soesilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla). Sekali lagi, koalisi dapat diwujudkan sejauhmana kemaslahatan dapat diraih. Apalagi koalisi yang dilakukan PKS tidak murni berdasarkan politik pragmatis semata melainkan berbasis nilai-nilai dan moral. Kemaslahatan yang akan diraih dalam koalisi ini dilakukan dengan melakukan kontrak politik antara PKS dan capres SBY dengan lima point kontrak politik.

Lima kontrak politik atau nota kesepahaman dengan SBY-JK yang dikemas secara tertulis dan dijanjikan Susilo selama pemerintahannya. Berikut disarikan nota kesepahaman itu: Pertama, Konsisten dalam melakukan perubahan untuk membangun pemerintahan yang bersih, peduli dan profesional. Kedua, Mempertahankan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Ketiga, Melanjutkan proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia. Keempat, meningkatkan moralitas bangsa dan kesejahteraan rakyat serta penegakan hukum. Kelima, Mendukung upaya perjuangan palestina dengan tidak menjalin hubungan diplomatik kepada Israel.

Kemaslahatan ini masuk dalam pengembangan pengertian maslahah atau yang dikembangkan oleh Jamal Athiyyah dengan memperinci kelima prinsip pokok (al-kulliyât al-khams) menjadi dua puluh empat maqâshid syariah yang dibagi menjadi empat segmentasi. Yakni segmen individu, segmen keluarga, segmen umat dan segmen manusia.

Dalam hal ini masuk segmen kemaslahatan umat dan manusia. untuk kemaslahatan umat adalah menata landasan dasar umat, menjaga keamanan, menegakkan keadilan, menjaga agama dan akhlak, saling membantu dan tanggungjawab, menyebarkan ilmu dan menjaga kecerdasan umat, memakmurkan bumi dan menjaga kekayaan umat. Sementara untuk kemaslahatan manusia, yaitu saling kenal dan bantu, mewujudkan kepemimpinan umum manusia, mewujudkan perdamaian dunia yang dibangun atas keadilan, menjaga negara dari hak asasi manusia dan menyebarkan dakwah Islam. Karenanya, jika kemaslahatan individu terbentur dengan kemaslahatan umat dan manusia maka didahulukan kemaslahatan umat daripada kemasalahatan individu.

Penutup

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk al-tahâluf al-Siyasiy (koalisi politik) adakalanya sesama muslim yakni koalisi ideologis, dan adakalanya berbeda agama. Koalisi idiologis hanya dapat dilakukan dengan kelompok atau orang yang memiliki idiologi dan agama yang sama dalam berbagai persoalan dari yang paling prinsip hingga yang paling sederhana demi kemaslahatan umat sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Oleh karena itu, yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya koalisi dengan non muslim adalah kemaslahatan umat.

Namun bentuk koalisi era modern ini kelihatannya bermiripan dengan zaman sebelumnya, jika dahulu koalisi dilakukan dengan antar kabilah. Kini, koalisi dilakukan antar partai-partai politik untuk membangun sebuah pemerintahan efektif. Sekalipun demikian, koalisi dahulu dan sekarang dapat dikatakan secara substansinya tidak jauh berbeda ditinjau secara tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan.

Karena itu, pergerakan Islam hendaknya mengadakan perjanjian atau melakukan kesepakatan (koalisi) untuk saling membantu dalam kebenaran, membela yang teraniaya atau lemah dan melawan kepada para pembangkang yang melakukan kezhaliman dan tidak serta merta mengikuti selera dan kepentingan penguasa melainkan dengan menjunjung tinggi kemaslahatan umat yang jauh lebih besar daripada kepentingan individu dan kelompok.

Selanjutnya, koalisi yang telah dibangun selama lima tahun yang lalu antara PKS dan Pemerintahan SBY dapat dikatakan efektif dan konsisten sesuai dengan nota kesepahaman dalam melakukan agenda perubahan. Antara lain, Pemberantasan korupsi di negeri ini semakin membaik dengan eksistensi lembaga KPK sekalipun masih belum tuntas secara keseluruhan. Selain itu, pemerintah Indonesia mendukung perjuangan Palestina dengan tidak membuka diplomatik dengan Zionis Israel. Terlepas kelebihan dan kekurangan dalam koalisi politik dengan pemerintah SBY-JK, hendaknya agenda perubahan mendasar negeri ini yang dikedepankan bukan hanya untuk bagi-bagi kekuasaan. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi ushûli al-Syari’ah, Juz 2, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Ahmad al-Raisûni, Nazhariah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi, (Riyâdh: al-Ma’had al-âlami li al-Fikri al-Islâmiy, 1995.
Ahmad Raisûni dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd, al-Nash, al-Wâqi’, al-Maslahah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2002.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos, 2005)
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1996)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam al-Washîth, tp.tt, hal 192.
Jamâl Athiyyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syariah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2001.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid 2 Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Kebijakan Dasar PKS.
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl Fiqh, .Cairo:Dâr al-Fikr al-„Arabi, t.t.
Muhammad Izzat Shaleh Anini, Ahkâmu al-Tahâluf al-Siyâsiy fi al-Fiqhi al-Islâmiy Tesis: Universitas Najah al-Wathaniyah, Palestina, 2008.
Muhammad Sa’id Ramadhân al-Bûthiy, Dhawâbith al-Maslahah fi al-Syarî’ah al-Islâmiyah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000.
Munir Muhammad Gadhban, al-Tahâluf al-Siyâsi fi al-Islâm, terj, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Penjelasan DPP PKS tentang sikap politik mendukung pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Muhammad Yusuf Kalla pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran kedua.
Rekomendasi DPP PK-Sejahtera tentang pemilihan Capres dan Cawapres, 30 Juni 2004.
Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005.
Shafyu al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahîq al-Makhtûm, Mekkah: Dar al-Syaikhah, tt.
Sri Budi Eko Wardani, Koalisi Partai Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung, Tesis UI, 2007,
Tazdkirah tentang Presiden Wanita oleh Dewan Syariah PKS.
Yusuf Al-Qaradhawi, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, Cairo: Maktabah Wahbah, 1998.

Internet
Aay Muhammad Furkon, dalam “Partai Dakwah Dilema” http://pks-jakarta.or.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=109, 09 Juli 2004.
Hidayat Nur Wahid, Wawancara, 01 Juli 2004. http://www.liputan6.com/news/?id=81274.
http://pemilu.detiknews.com/

Selengkapnya......